Pemerintah Diminta Jangan Takut Implementasi Penuh Aturan Ojol
Aturan ini dikenal juga sebagai regulasi untuk ojek online atau ojol dan kendaraan roda dua yang digunakan sebagai alat transportasi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk tidak takut menjalankan secara penuh aturan untuk moda transportasi Ojek Online (Ojol) demi kepastian hukum bagi semua pelaku bisnis dan konsumen yang terlibat di dalamnya.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi akan efektif diberlakukan.
Aturan ini dikenal juga sebagai regulasi untuk ojek online atau ojol dan kendaraan roda dua yang digunakan sebagai alat transportasi.
Aturan ini efektif diberlakukan di 5 kota mewakili 3 zona yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar sejak 1 Mei 2019.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo meminta pemerintah konsisten mengamankan jalannya regulasi itu karena keinginan semua pihak dalam ekosistem sudah diakomodasi. .
"Aturan itu sudah mengakomodasi semua yang diminta mitra pengemudi dan aplikator. Pemerintah sudah sangat akomodatif walau jika dilihat Undang-undang Transportasi no 22 tentang moda transportasi atau angkutan publik darat itu bertentangan, tetapi pemerintah sudah sangat akomodatif," katanya di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Baca: Tarif Ojek Online Masih Bisa Turun
Menurutnya tak ada alasan pemerintah untuk mewacanakan revisi karena aturan dibuat sudah ada masa sosialisasi dan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis ride-hailing itu semua diajak diskusi.
"Pemeritah harus tegas awasi i lapangan, terutama soal penerapan tarif. Jangan ada lagi dibiarkan kedok promosi tapi malah merugikan mitra atau merusak persaingan. Pemainnya yang kuat kan tinggal dua, harusnya lebih mudah mengawasi," tegasnya.
Diharapkannya, agar tak terjadi gejolak sosial, aplikator harus konsisten menerapkan tarif sesuai dengan aturan.
Perbedaan tarif dengan menggunakan senjata alat bayar non tunai namun sebenarnya subsidi tarif untuk menjalankan praktik dumping harus dihentikan agar persaingan lebih sehar.
"Aplikator jangan bermain-main lagi dengan tarif.Jangan sampai pemerintah dalam hal ini Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sudah habis-habisan melakukan berbagai upaya demi mengakomodir tuntutan mitra(driver,red) khususnya soal tarif,gejolak masih muncul.Karena itu semua harus mau diatur,dimana pun di dunia ini,apalagi ini menyangkut transportasi umum,semua ada aturannya,” pungkasnya.
Untuk informasi, besaran tarif terbagi menjadi 3 zona, yaitu: zona 1 untuk wilayah Sumatera, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali. Untuk zona 2 adalah Jabodetabek. Sementara untuk zona 3 adalah Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan lainnya.
Adapun besaran tarif nett untuk Zona I batas bawah Rp1.850 dan batas atas Rp2.300, dengan biaya jasa minimal Rp7.000-Rp10.000.
Sementara Zona II batas bawah Rp2.000 dengan batas atas Rp2.500, dan biaya jasa minimal Rp8.000-Rp10.000. Untuk Zona III batas bawah Rp2.100 dan batas atas Rp2.600 dengan biaya jasa minimal Rp7.000- Rp10.000.
Penetapan Biaya Jasa batas bawah, batas atas, maupun biaya jasa minimal ini merupakan biaya jasa yang telah mendapatkan potongan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi.
Biaya tidak langsung adalah biaya jasa yang ada di dalam pihak aplikator sebanyak maksimal 20%.
Kemudian yang 80% adalah menjadi hak pengemudi. Selain biaya langsung dan tidak langsung, ada pula biaya jasa minimal (flag fall) yaitu biaya jasa yang dibayarkan oleh penumpang untuk jarak tempuh paling jauh 4 kilometer.
Dirjen Perhubungan Darat nantinya akan melibatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk fungsi pengawasan regulasi tersebut terutama implementasi tarif.