Bertemu Jokowi di Istana, Apindo Minta Undang-Undang Ketenagakerjaan Direvisi
Menurut Hariyadi, undang-undang tersebut membuat industri padat karya di Indonesia menjadi tersisih
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar industri padat karya dapat bertumbuh di Tanah Air.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang tersebut karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini dan membuat industri padat karya beralih ke negara lain seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan lainnya.
"Beliau (Presiden) menyampaikan bahwa pemerintah akan mengupayakan dalam waktu 6 bulan ini memang akan direview kembali Undang-Undang Ketenagakerjaan itu karena kondisinya sudah cukup mendesak," ujar Hariyadi seusai bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/6/2019).
"Artinya kurun waktu yang sekian lama ini, dari tahun 2003 sampai sekarang itu kan sudah beralih persepsinya bahwa upah minimum itu menjadi upah rata-rata," sambung Hariyadi.
Menurut Hariyadi, undang-undang tersebut membuat industri padat karya di Indonesia menjadi tersisih, padahal negara ini sangat membutuhkan karena 50 persen angkatan kerja di dalam negeri lulusan SMP ke bawah.
Baca: Sergio Ramos Tak Undang Cristiano Ronaldo Di Pesta Pernikahannya
Baca: Pelatih Persebaya Puas Lihat Kondisi Fisik Pemainnya
"Jadi artinya yang padat karya juga diberikan ruang untuk berkembang, harus bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara pesaing kita, tetangga kita, tapi yang padat modal dikejar juga, supaya juga itu tumbuh menjadi industri 4.0 yang berdaya saing," papar Hariyadi.
Selain itu, Apindo pun meminta pemerintah untuk memberikan potongan khusus hingga 50 persen terkait Pajak Penghasilan (PPh) industri padat karya yang telah beroperasi di Indonesia, seperti yang telah dilakukan negara Vietnam.
"Ini merangsang industri padat karya untuk memperluas usahanya. Kami juga tadi menyampaikan mengenai jaminan pensiun, jaminan pensiun itu juga menurut pandangan kami mengandung risiko yang cukup besar ke depan, risiko fiskal karena kita menganut metodologinya adalah manfaat pasti, dimana banyak negara di dunia saat ini sebenarnya sudah meninggalkan manfaat pasti, beralih kepada iuran pasti," tukasnya.