Pengamat: Cegah Perang Tarif, Promo Ojol Tetap Perlu Diatur
“Secara teori, rivalitas pasar yang hanya dua pemain, akan berlaku hukum yang lebih kuat, akan memangsa dengan upaya apapun lawannya,” ujar Harryadin.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika berpendapat pengaturan promo layanan transportasi daring atau ojol (ojek online) tetap diperlukan untuk mencegah praktik persaingan bisnis tidak sehat yang berpotensi saling menjatuhkan kompetitor di bisnis transportasi online.
Harryadin Mahardika mengungkapkan dugaan adanya jual rugi atau predatory pricing dalam industri Ojol cukup kuat karena dari karakter bisnisnya, pasar industri tersebut kini hanya menyisakan dua pemain, yakni GoJek dan Grab.
Harryadi menjelaskan, dengan menyisakan dua pemain tersebut, maka yang terjadi adalah hukum rivalitas yang ketat, dan saling memangsa. “Secara teori, rivalitas pasar yang hanya dua pemain, akan berlaku hukum yang lebih kuat, akan memangsa dengan upaya apapun lawannya,” ujar Harryadin.
Harryadin menegaskan, jika kelak pasar hanya diisi pemain tunggal yang tampil sebagai pemenang di kompetisi tersebut, maka yang akan muncul adalah praktik monopoli di bisnis ini. Hal demikian dinilai akan merugikan banyak pihak, tarif bisa seenaknya, karena cuma satu pemain.
Harryadin menambahkan, dari dua pemain industri Ojol, dia menilai Grab jauh lebih kuat dibandingkan Gojek mengingat perusahaan ini mendapat suntikan dana segar hingga US$6 miliar dari Softbank sebagai investor utama aplikasi Ojol asal Malaysia tersebut.
Baca: Garuda Operasikan Penerbangan Codeshare dengan 14 Maskapai Luar Negeri
Dia mencontohkan tarif promo yang dibuat operator ini. “Promo Rp1 itu sama saja gratis, atau promo diskon 70% itu sangat besar, ditambah dengan periode jangka waktu yang panjang. Kalau dikatakan promo, itu seharusnya ada jangka waktu atau momen,” sebutnya.
Harryadin juga menilai strategi promo ini membuat migrasi pelanggan dari Gojek ke Grab.
“Pemerintah dan regulator harus intervensi ini. Saya melihat bukan lagi promo tetapi predatory promotion atau deep discounting yang juga unsur dari predatory pricing,” kata dia.
Pengamat Transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menyatakan, indikasi persaingan tidak sehat dipicu oleh kegiatan promo gila-gilaan para operator dengan dukungan modal besar.
“Aksi bakar uang sampai pesaing mati. Bahayanya jika sudah mengarah pemain tunggal, ini yang telah terjadi di beberapa negara,” kata Yayat.
Yayat mencontohkan, kini pengguna aplikasi Ojol kerapkali dibanjiri tawaran diskon menarik hingga terkadang nyaris tak membayar tunai.
Mantan ketua komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2015-2018 Syarkawi Rauf menyatakan Pemerintah perlu memastikan terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dengan mengatur aspek persaingan yang sehat antara pemain dan perlindungan konsumen.
“Ancaman terhadap persaingan usaha yang sehat datang dari dua sumber, yaitu praktik bisnis yang menghambat persaingan dan peraturan pemerintah yang memberatkan persaingan," ungkap pendiri Institute for Competition and Policy Analysis (ICPA) ini.
"Dalam kasus transportasi online, negara harus hadir untuk memastikan bahwa tidak ada ancaman bagi iklim persaingan usaha sehat hanya gara-gara perilaku salah satu perusahaan yang promo jor-joraan dan menjurus pada matinya pesaing-pesaing lain,” sebut Syarkawi dalam rilis yang diterbitkan ICPA baru-baru ini.