Harga Gas di Indonesia USD 5,3/MMBTU, Lebih Murah Dibanding Malaysia dan Thailand
Kementerian ESDM mengklaim harga gas Indonesia relatif kompetitif dan stabil bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Penulis: Ria anatasia
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim harga gas Indonesia relatif kompetitif dan stabil bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Hal tersebut sejak terbitnya payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan produk hukum turunannya.
"Kalau kita lihat lebih detail perbandingan dari titik referensi yang sama, harga hulu di Indonesia sebesar USD 5,3/MMBTU, ini terbilang kompetitif," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi dalam siara pers yang diterima, Minggu (14/7/2019).
Agung membandingkan harga gas di tiga negara Asia Tenggara yang memiliki perkonomian kuat.
Thailand mematok harga gas di hulu sebesar USD5,5/MMBTU dan Malaysia sebesar USD4,5/MMBTU.
Sementara harga gas di Singapura jauh di atas USD15/MMBTU. Bahkan kalau dibandingkan dengan China yang ekonominya kian menggeliat harga gas di hulu telah mencapai USD8/MMBTU.
Jika dicermati lebih lanjut, harga gas di Malaysia memang lebih rendah.
Namun, Agung menjelaskan, rendahnya harga gas di Malaysia ditopang dari struktur biaya pembentukan gas yang menerapkan Regulation Below Cost (RBC).
"Sistem RBC menuntut adanya penerapan subsidi sehingga membuat harga gas di Malaysia lebih murah," ungkapnya.
Sementara di Thailand dan Tiongkok menjalankan model indeksasi ke harga minyak.
Artinya, harga gas akan mengikuti pergerakan harga minyak (gas pipa). Jika harga minyak naik, maka harga gas akan naik. Begitu pula sebaliknya.
"Skema ini mendorong tingginya tingkat fluktuasi sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga gas," jelas Agung.
Indonesia sendiri, imbuh Agung, menerapkan skema Regulation Cost of Services (RCS).
Jadi, penetapan harga gas berdasarkan keekonomian di setiap mata rantai.
Skema ini cocok diterapkan di Indonesia karena tidak mengikuti harga minyak dan tidak menimbulkan volatilitas.
"Ini yang membuat harga gas di Indonesia cukup stabil," tegasnya.
Kestabilan harga gas terlihat pada catatan harga gas pipa domestik dari tahun 2008 hingga April 2019.
Pada tahun 2008, gas pipa domestik sebesar USD4.83/MMBTU. Sementara, pada April 2019 sebesar USD5,87/MMBTU.
Dalam kurun 11 tahun, gas pipa domestik hanya terkoreksi sebesar USD1,04/MMBTU.
Kalau dibandingkan dengan pergerakan ICP dalam kurun waktu yang sama, fluktuasi ICP punya selisih USD 34,58/barrel.
"Ini sebatas gambaran umumnya," kata Agung.
Kendati demikian, Pemerintah menurutnya akan terus mendorong struktur biaya energi di Indonesia makin kompetitif sehingga harga gas di level plant gate bisa lebih rendah dari rata-rata biaya sekarang, yaitu sebesar USD 9/MMBTU.
"Kami terus mencari formula baru untuk menekan harga gas sampai ke tingkat akhir pengguna," terang Agung.
Untuk diketahui, struktur harga gas domestik di Indonesia ditetapkan berdasarkan biaya gas bumi (60 persen), biaya transmisi (22 persen) dan biaya distribusi + niaga (18 persen).