Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Sektor Industri Perlu Lakukan Terobosan demi Perkuat Daya Saing

Presiden Joko Widodo diharapkan dapat memprioritaskan sektor industri manufaktor untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Penulis: Fajar Anjungroso
zoom-in Sektor Industri Perlu Lakukan Terobosan demi Perkuat Daya Saing
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pekerja menyelesaikan pembangunan konstruksi jalan tol Tanjung Priok di Jakarta Utara, Rabu (27/1/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo diharapkan dapat memprioritaskan sektor industri manufaktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Terlebih, dua tahun belakangan ini kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun.

Tengok saja data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut di tahun 2018 yang mencatat kontribusi industri manufaktur sebesar 19,82% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 14.837 triliun.

Sementara pada tahun sebelumnya industri manufaktur menyumbang 21,22% dari PDB sebesar Rp 13,588 triliun.

”Kontribusi yang melambat, secara persentase, tapi harus hati-hati melihat angka itu. Saya lebih setuju melihatnya dari sisi pertumbuhan, bukan kontribusi. Kalau dari pertumbuhan ada perlambatan. Naik tapi melambat. Ini yang perlu diwaspadai,” ujar Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, Jumat (2/8/2019).

Dalam konteks menuju perkembangan ekonomi saat ini, sambung dia, negara yang sedang pada fase tersebut cenderung meninggalkan sektor manufakturnya.

”Artinya pertumbuhan sektor lainnya lebih tinggi. Itu terkait transformasi struktural. Maka ada kewajaran (terjadinya perlambatan manufaktur) dari aspek itu,” jelasnya.

BERITA REKOMENDASI

Lana yang juga Ekonom PT Samuel Asset Management sepakat erkembangan saat ini teknologi menjadi sangat berperan.

Tidak terkecuali untuk sektor industri dan manufaktur. ”Jadi kalau mau inovasi ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan,” terangnya.

Lebih dari itu, Lana juga menilai solusi untuk manufaktur bukan dari pelakunya industri itu sendiri.

Tetapi juga aspek non teknis, faktor ekonomi di luar kekuasaan perusahaan terutama yang berkaitan dengan logistik.

”Salah satu faktor yang membuat biaya produksi mahal, aspek non teknis, pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Itu membuat biaya-biaya tadi oleh perusahaan dimasukkan biaya produksi,” ungkapnya.


Data BPS juga mencatat bahwa praktik pungli bisa memakan biaya sampai 10 persen dari total biaya produksi.

Belum lagi ditambah biaya yang muncul akibat kemacetan. ”Biaya pungli sampai 10 persen itu besar sekali,” tegasnya.

Lalu bagaimana dengan harga energi seperti gas yang selama ini kerap dikeluhkan pelaku industri?

”Bukan itu problemnya. Banyak yang lain juga. Kebetulan mungkin (harga gas) itu yang bisa ditekan ya akhirnya coba diminta diturunkan,” ujarnya.

Baca: PGN Luncurkan 32 Unit Gaslink Truck Berbahan Bakar Gas Bumi

Sedangkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengatakan sebagai sektor strategis, industri manufaktur memang perlu melakukan terobosan dan strategi. Tetapi juga harus didukung kebijakan yang tepat.

”Di Simangke, misalnya, itu kan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sampai hari ini yang berkembang di sana baru Unilever. Karena nggak kompetitif. Sawit mestinya di sana bisa jadi hilirnya. Oleochemical juga harus didorong karena masih impor,” terangnya, Jumat (02 Agustus 2019).

Enny mengatakan, harga energi terutama gas memang berpengaruh dan menjadi salah satu daya tarik bagi pelaku usaha.

Meskipun bukan satu-satunya komponen penentu daya tarik yang bisa berdampak ke daya saing.

”Pada intinya pengusaha akan masuk ke Negara yang dianggap menguntungkan untuk investasi dan berusaha. Tidak peduli jenis negaranya seperti apa,” tegasnya.

Biaya energi, lanjut Enny, memang akan jadi pertimbangan dalam berusaha.

Meski begitu, salah satu hal penting adalah pembenahan sejumlah KEK yang sudah ditetapkan sejak lama.

”Beberapa kawasan industri mau didedikasikan untuk industri apa. Ditentukan saja per kawasannya. Sehingga kebutuhan energinya bisa disesuaikan,” ulasnya.

Beberapa sektor industri saat ini merupakan pengguna utama gas bumi. Dengan tingkat kebutuhan yang berbeda, struktur biaya produksinya juga berlainan.

Misalnya pupuk memiliki kebutuhan bahan baku gas mencapai 70%, petrokimia (70/15-25%), baja dan logam (70/15-25%), pulp dan kertas (8-32%), keramik (20-24%) kaca (20-25%) dan makanan minuman (15-25%).

Dengan harga gas yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir, kinerja sektor industri pengguna gas bumi juga solid.

Contohnya pelaku usaha keramik. Meski sering mengeluh harga gas kemahalan, namun banyak perusahaan yang justru mendulang untung besar.

Contohnya, PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk yang pendapatannya naik hingga 47,37% menjadi Rp 84 miliar di kuartal I 2019.

Selama beberapa tahun ini pengusaha keramik seringkali mengeluhkan harga gas yang tinggi membuat produknya kalah bersaing. Salah satunya dengan produk keramik asal China.

Padahal harga gas ke industri di Indonesia rata-rata sebesar US$ 8,8 per mmbtu dan di China US$ 15,0 per mmbtu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas