Wacana Penggabungan Produksi SKM dan SPM Dinilai Beratkan Industri Kecil
penggabungan volume produksi SKM dan SPM maupun simplifikasi, karena sangat memberatkan industri, terutama industri kecil
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri menolak wacana penggabungan produksi rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) pada kebijakan cukai ke depan.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar menyatakan tidak setuju terhadap wacana penggabungan volume produksi rokok SKM dan SPM untuk diterapkan pada kebijakan cukai yang akan datang.
Penggabungan volume produksi SKM dan SPM yang merupakan bagian dari wacana penyederhanaan cukai hasil tembakau dinilai akan menciptakan persaingan tidak sehat di antara industri tembakau.
“Kami sangat tidak setuju dengan penggabungan volume produksi SKM dan SPM maupun simplifikasi, karena sangat memberatkan industri, terutama industri kecil,” ucapnya kepada media.
Dia menjelaskan, pada industri golongan menengah dan kecil dimana volume produksinya masih rendah, penggabungan SKM dan SPM akan memaksa mereka naik ke golongan yang lebih tinggi, sehingga tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) menjadi ikut melonjak.
“Dalam konteks persaingan usaha, dampak tersebut akan melemahkan pemain di industri kecil dan menengah, namun menguntungkan industri besar yang sudah dominan di segmen SKM maupun SPM,” ucapnya kepada media.
Ia menyatakan, sebaiknya pemerintah juga tidak menerapkan penyederhanaan cukai tembakau, menurutnya struktur tarif cukai tembakau pada saat ini yang terdiri dari 10 (sepuluh) golongan sudah mencerminkan kondisi IHT yang terdiri dari 437 pelaku industri dengan rentang variasi produksi sangat variatif dan luas.
“Simplifikasi struktur tarif cukai akan menyebabkan terpukulnya pabrik golongan kecil dan menengah, yang akan berakibat pada hilangnya lapangan pekerjaan dan semakin maraknya rokok ilegal,” terangnya.
Tenaga kerja juga menjadi perhatian Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM-SPSI).
“Regulasi yang dikeluarkan Pemerintah atas tembakau akan berdampak pada keberlangsungan perusahaan hasil tembakau. Jumlah industri hasil tembakau yang makin berkurang, tentu akan mempengaruhi tenaga kerja yang ada,” kata Ketua FSP RTMM-SPSI Sudarto.
Sebelumnya, penolakan penggabungan volume juga pernah disampaikan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).
Gapero memberikan beberapa saran kepada pemerintah untuk kebijakan cukai di tahun 2020.
Pertama, Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya perlu di berikan insentif tambahan dalam bentuk perluasan batas jumlah produksi khususnya industri golongan II dan III; serta preferensi tarif cukai dan HJE untuk semua golongan.
Kedua, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi. Ketiga, pengendalian Harga Transaksi Pasar (HTP) dengan pembatasan minimum 85% dari Harga Jual Eceran (HJE) tetap dipertahankan oleh pemerintah.
“Merujuk hasil riset Nielsen, pada bulan April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 %. Pemerintah hendaknya bijak dalam menyikapi kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT) saat ini,” katanya.