Ekonom UI: Pertumbuhan Melambat, Industri Harus Berani Bikin Terbosan
Menyadur Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sektor ini hanya berkontribusi 19,82 persen terhadap PDB sebesar Rp14.837 triliun.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih menilai sektor industri manufaktur perlu melakukan terobosan untuk menaikkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menyadur Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, sektor ini hanya berkontribusi 19,82 persen terhadap PDB sebesar Rp14.837 triliun.
Sementara pada tahun sebelumnya industri manufaktur menyumbang 21,22 persen dari PDB RI sebesar Rp13,588 triliun.
”Saya melihatnya dari sisi pertumbuhan, bukan kontribusi. Kalau dari pertumbuhan ada perlambatan. Naik tapi melambat. Ini yang perlu diwaspadai,” ujar Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Lana yang juga Ekonom PT Samuel Asset Management setuju bahwa perkembangan saat ini teknologi menjadi sangat berperan, tak terkecuali untuk sektor manufaktur.
“Jadi kalau mau inovasi ya teknologi walaupun pasti ada disrupsi di situ. Memang akan lebih efisien menggunakan teknologi dan jadi satu-satunya jalan,” terangnya.
Lana juga menilai bahwa solusi untuk manufaktur bukan dari pelaku industri itu sendiri.
Baca: Wacana Penggabungan Produksi SKM dan SPM Dinilai Beratkan Industri Kecil
Menurutnya, saat ini terdapat banyak hal yang menjadi daftar keluhan. ”Kalau lihat list keluhan yang ada di Kadin itu panjang sekali,” ucapnya.
Tidak terkecuali aspek non teknis seperti pungli dan kemacetan.
“Salah satu faktor yang membuat biaya produksi mahal, aspek non teknis; pungli, macet, kadang ada bajing loncat. Itu membuat biaya-biaya tadi oleh perusahaan dimasukkan biaya produksi,” ungkapnya.
Data BPS juga mencatat bahwa praktik pungli bisa memakan biaya sampai 10 persen dari total biaya produksi.
Belum lagi ditambah biaya yang muncul akibat kemacetan. ”Biaya pungli sampai 10 persen itu besar sekali,” tegasnya.
Untuk memperkuat sektor industri, Indonesia perlu meningkatkan rangking Ease of Doing Business (EoDB).
Dalam riset yang dirilis Bank Dunia (World Bank), rangking kemudahan bisnis Indonesia saat ini level 73.
Jauh lebih baik dibandingkan level 123 pada 2014 saat Jokowi kali pertama memimpin, namun level tersebut masih jauh di bawah Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.