Penanaman Masif Ubi Jalar di Lahan Tidur Bisa Perkuat Cadangan Pangan
Sejak lama ubi jalar dikenal sebagai bahan pangan alternatif di Tanah Air. Produksinya pun bisa digenjot dengan memaksimalkan lahan tidur.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di Indonesia, area lahan tidur terbilang masih cukup banyak. Tidak hanya di kawasan pedesaan atau lereng perbukitan, tapi juga di pinggiran kota. Padahal, lahan tidur jika dimanfaatkan optimal bisa kembali produktif dan memberi nilai ekonomi cukup tingi.
Ubi jalar bisa menjadi pilihan tanaman pangan untuk memanfaatkan lahan tidur di Indonesia.
Sejak lama ubi jalar dikenal sebagai bahan pangan alternatif di Tanah Air. Produksinya pun bisa digenjot dengan memaksimalkan lahan tidur atau memanfaatkan lahan yang didistribusikan pemerintah ke petani.
Ubi jalar juga memiliki potensi sebagai bahan industri pangan yang memiliki nilai ekonomi seperti bahan baku saus tomat untuk kebutuhan restoran.
Pemerintah telah menggulirkan program Reforma Agraria selama periode pertama Presiden Joko Widodo. Bahkan, pada 2019 ini, pemerintah ditarget telah melepaskan lahan sebanyak 4,4 juta hektar, dengan patokan target sebesar 9 juta hektar pada periode setelahnya.
Namun demikian, program redistribusi lahan itu kerapkali tak memberikan efek ekonomi bagi para petani maupun perbaikan rantai pasok pangan. Sebabnya, lahan hasil redistribusi tak jarang kembali menjadi lahan tidur, ataupun dicaplok usaha properti hingga pertambangan.
Di sisi lain, Indonesia selalu berkutat dengan isu rentannya ketahanan pangan nasional. Seharusnya, lewat program redistribusi lahan tersebut, terjadi peningkatan produktivitas komoditas pertanian.
Ahli Teknologi Pangan Universitas Sahid Giyatmi Irianto mengatakan, penguatan sektor pangan, tak melulu menggubah lahan jadi pertanian padi. Sebab, lanjutnya, banyak tanaman pangan alternatif yang lebih mudah digarap maupun memiliki potensi ekonomi lebih besar, seperti ubi jalar.
“Sebagai bahan pangan, ubi jalar tentu makanan pokok alternatif. Selain itu ubi jalar bisa diolah sebagai bahan baku industri, khususnya subtitusi bahan impor,” ungkap Giyatmi.
Saat ini, ubi jalar marak digunakan pelaku industri pangan olahan, terutama saus tomat.
“Mereka mensubtitusi tomat yang kadang juga diimpor, dengan ubi jalar karena pasokan lebih stabil. Selain itu, ternyata konsumen lebih memilih saus tomat dengan bahan subtitusi ubi jalar ini,” terang Giyatmi.
Industri saus tomat baik domestik maupun impor terus bertumbuh. Merujuk Database Comtrade PBB, ekspor kecap tomat dan saus tomat lainnya di seluruh dunia mencapai US$1,69 miliar pada 2013.
Baca: Terbit September, Kisah Horor di Twitter yang Viral KKN di Desa Penari Akan Hadir Novel
Di sisi lain, persaingan domestik produk saus tomat memang berlangsung ketat. Produsen multinasional seperti Heinz, Unilever, dan Delmonte saling sikut memperebutkan pasar sempit saus tomat.
Baca: Cerita Lengkap Hilangnya Wanita Asal Surabaya di Australia, Diduga Korban Pembunuhan Suami Bulenya
Heinz yang dikenal dengan Heinz ABC Indonesia hadir setelah mengakuisisi dan menyisakan saham 35% ABC Central Foods.
Unilever juga telah menjajal bisnis saus setelah memperkenalkan merek Jawara pada tahun lalu. Sedangkan Delmonte International tercatat sebagai pemain bisnis saus tomat di Indonesia sejak hampir sedekade lalu.
Baca: Netizen Heboh Penampakan Sosok Bima di Kisah Horor KKN di Desa Penari, Begini Klarifikasi Penulisnya
Saus ABC dan Delmonte bersaing ketat sebagai penguasa pasar saus tomat di Tanah Air. Delmonte, sebagaimana informasi yang dihimpun, meneken kontrak produksi dengan PT Lasallefood Indonesia.
Uniknya, keunggulan itu tak terlepas dari tangan dingin Ipung Kurnia pihak di balik layar Lasallefood Indonesia, yakni PT Suba Indah yang notabene merupakan bagian lini produksi PT ABC Central Foods.
Delmonte seolah berhasil bertransformasi dari ABC Central Foods. Terlebih lagi, duel klasik antara Saus ABC dan Delmonte ini melibatkan sosok adik ipar Ipung yang pernah sukses membawa ABC Central Foods merajai pasar pangan olahan Tanah Air.