Cegah Penghindaran Pajak, Pemerintah Diminta Gabungkan Batasan Produksi SPM dan SKM
Formasi mendesak pemerintah melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA – Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
"Kami masih berpijak pada usulan percepatan penggabungan (batasan produksi) sigaret kretik mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM)," kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto, Minggu (15/9/2019).
Saat ini, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan 1, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi.
Baca: Kabut Asap Juga Bikin Sriwijaya Air Kalang Kabut, Pendaratan Sejumlah Pesawat Dialihkan
Padahal, tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60 persen ketimbang golongan 1.
Baca: Kabut Asap Mulai Mengancam Penerbangan, Hari Ini Garuda Batalkan 12 Flight
Tuntutan Formasi untuk mempercepat penggabungan batas volume produksi SKM dan SPM menjadi 3 miliar batang per tahun itu juga didukung oleh sejumlah ekonom dan akademisi.
Mereka mendorong pemerintah segera melakukan penggabungan agar pabrikan besar yang secara kumulatif produksi telah mencapai 3 miliar, harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan.
Baca: Disebut Pemicu Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian KLHK Segel 46 Perusahaan
Mengutip data INDEF, penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dapat menambah pemasukan negara sebesar Rp 1 triliun.
Selanjutnya, Formasi juga meminta agar persentase kenaikan tarif cukai antara golongan 1 dan 2 harus sama.
"Kenaikan dalam batas kewajaran, sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi," tegas Heri.
Di segmen SKT, Formasi meminta adanya penggabungan tarif SKT golongan 1, serta mempertahankan besaran tarif dan batasan produksi pada golongan 3, yakni Rp 100 per batang, dan di bawah 500 juta batang per tahun.
Heri mengatakan, keempat tuntutan tersebut demi kepentingan semua pihak.
"Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung,"
Selain menuntut empat hal tersebut, Formasi juga mengapresiasi pemerintah yang telah mampu menurunkan peredaran rokok illegal.
“Di sisi lain kami juga meminta perhatian pemerintah atas maraknya penjualan rokok murah (subsidi) dari grup pabrikan besar yang semakin mengabaikan etika dalam berusaha,” tegas Heri.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tarif cukai rokok tahun 2020 akan naik rata-rata sebesar 23 persen.
Harga jual eceran akan naik hingga 35 persen. Kebijakan ini akan mulai berlaku Januari 2020. Seluruh kenaikan tersebut akan dituangkan dalam revisi PMK 156 yang saat ini masih digodok pemerintah.