Tantangan Industri Sawit Indonesia, Larangan Uni Eropa Hingga Kampanye Hitam LSM
Deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah dua isu utama yang menjadi topeng dari alasan utama yakni persaingan biofuel
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini industri kelapa sawit di Indonesia menemui sejumlah tantangan yang harus dihadapi yakni kampanye negatif dari serangkaian lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan larangan dari Uni Eropa (UE).
Ekonom dari INDEF Bhima Yudistira mengungkapkan, di pasar Amerika Serikat, deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah dua isu utama yang menjadi topeng dari alasan utama yakni persaingan biofuel.
"Isu tersebut terus digoreng LSM dengan berbagai cara. LSM-LSM di UE menyerang sawit Indonesia dengan isu buruh anak dan lingkungan," ungkapnya dalam keterangan pers, Kamis (10/10/2019).
Sejumlah LSM asing, kata yang getol merongrong industri sawit Indonesia belum terdaftar di Kementerian Luar Negeri alias ilegal beroperasi di Tanah Air.
"Jangan sampai kebebasan ini malah jadi blunder bagi perekonomian Indonesia," tegasnya.
Salah satu perusahaan yang tengah diserang kampanye hitam tersebut yakni Korindo Group.
Dengan melempar dua tudingan utama yakni pelanggaran HAM untuk pembukaan lahan dan deforestasi, LSM merongrong operasi bisnis Korindo di dua daerah paling tertinggal di Indonesia ini.
Baca: Jajaran Pohon Angsana dan Kelapa Sawit di Depan Menara Mandiri Dianggap Merusak Estetika Trotoar
Korindo Group memiliki lahan konsesi di tiga daerah yakni Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Boven Digoel, Korindo terus dirongrong oleh LSM asal AS yakni Mighty Earth.
Sekretaris Desa Gane Dalam, kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jamal Kun, mengatakan dampak kehadiran dari Korindo sangat dirasakan masyarakat, baik itu dalam bentuk pembangunan infrastruktur maupun pengembangan kemampuan warga.
"Kehadiran Korindo membuka lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga angka pengangguran menurun," tuturnya.
Jamal menegaskan dalam proses pelepasan lahan masyarakat, Korindo telah melalui berbagai proses sesuai aturan yang berlaku dan transparan. Dan, dirinya memastikan, tidak ada masyarakat yang merasa dirugikan.
"Kami menyesalkan isu yang beredar tersebut," tegas Jamal.
Sementara itu, salah satu pemilik hak ulayat di distrik Subur, kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua, menyatakan kehadiran Korindo di wilayahnya diibaratkan 'Habis Gelap Terbitlah Terang'.
"Yang paling terasa adalah dibukanya begitu banyak lapangan kerja dan pembangunan begitu banyak sarana umum," ungkapnya.
Tantangan Uni Eropa
Tantangan lain industri sawit adalah Uni Eropa akan mengenakan bea masuk anti-subsidi (BMAS) antara 8 hingga 18 persen terhadap produk impor biodiesel dari Indonesia.
Bahkan Maret 2019 yang lalu, Komisi UE pun mengategorikan minyak sawit sebagai produk yang 'tidak berkelanjutan' alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Indonesia pun dituding sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi untuk kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit.
Faktanya, total luas perkebunan kelapa sawit hanya sekitar 6,6 persen dari total lahan dunia.
Pelaku industri sawit di Indonesia tidak perlu khawatir dengan banyaknya tantangan tersebut. Sebab menurutnya itu terjadi hanya karena ada kepentingan persaingan dagang saja di baliknya.
Baca: PTPN III Ekspor Perdana CPO ke AS
"Kita percaya Eropa enggak akan menolak semua, sebab industrinya pasti berhenti. Mereka sangat butuh CPO karena paling efisien," kata Kasdi.
Pemerintah hingga kini masih berupaya memfasilitasi pengembangan industri sawit, terutama pasar ekspor.
Meski ada larangan dari UE, dia meyakini bahwa industri di eropa masih akan sangat bergantung kepada sawit Indonesia, lantaran lebih efisien ketimbang minyak nabati yang lainnya.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Pradnyawati juga menyebut bahwa langkah Eropa tersebut sebagai strategi yang terstruktur, sistematis dan masif dalam menolak produk CPO dari Indonesia.
"Mereka tidak mau minyak nabati mereka yang dihasilkan di Eropa itu tersaingi minyak nabati dari Asia. Minyak sawit itu sangat efektif dari segala parameter, kita lebih kompetitif dibandingkan minyak bunga matahari, kedelai. Itu lah kenapa kita diserang," ujar Pradnyawati.
Indonesia menjadi penghasil sawit terbesar di dunia.
Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sekitar 46 juta ton per tahun.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) selama 2018 sebesar 34,71 juta ton, naik delapan persen dibandingkan 2017.
Selain itu, produk turunan CPO seperti refined CPO dan minyak laurat juga mengalami kenaikan cukup signifikan yakni tujuh persen, dari yang sebelumnya 23,89 juta ton menjadi 25,46 juta ton.
Kelapa sawit pun menjadi salah satu bahan baku utama biodiesel atau bahan bakar nabati, yang dianggap sebagai salah satu alternatif energi baru pengganti bahan bakar fosil yang diperkirakan akan habis dalam 70-80 tahun lagi.