Presiden Jokowi Diminta Hapus Kebijakan yang Bisa Hancurkan Industri Hasil Tembakau
Agus Wahyudin mengatakan, IHT merupakan salah satu industri padat modal dan padat karya dengan penyerapan tenaga kerja yang besar.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden Jokowi diharapkan memberikan perlindungan terhadap para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) di Tanah Air melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung kelangsungan industri tembakau dan menghilangkan kebijakan yang bisa mematikan IHT.
’Presiden perlu memberikan perhatian dan perlindungan kepada pelaku industri hasil tembakau. Mengingat kontribusi industri ini cukup besar bagi negara,’’ujar pemerhati kebijakan publik Agus Wahyudin di Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Agus Wahyudin mengatakan, IHT merupakan salah satu industri padat modal dan padat karya dengan penyerapan tenaga kerja yang besar. Sehingga, pemerintah dinilai perlu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung IHT tumbuh. Bukan kebijakan yang kontraproduktif.
Mengutip data Pemerintah, Agus mengatakan, sampai hingga kuartal I 2019 tercatat jumlah tenaga kerja di industri itu mencapai 5,98 juta orang.
Sekitar 4,28 juta orang diantaranya merupakan pekerja disektor manufaktur dan distribusi. Sementara sisanya 1,7 juta orang bekerja di sektor perkebunan.
‘’Kontribusi bagi pemasukan negara juga sangat besar baik dari sisi cukai maupun pajak. Sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan penuh bagi industri ini,’’ ujar Agus.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti meminta Presiden memperhatikan kelangsungan industri tembakau dari ancaman kebijakan yang akan mematikan IHT.
Permintaan ini diajukan terkait adanya usulan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk merevisi Peraturan Pemerintah 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Kami akan segera menyurati Bapak Presiden Jokowi untuk menyuarakan dan menjelaskan penolakan kami atas usulan revisi PP 109/2012. Kami harap beliau dapat mempertimbangkan dan merumuskan keputusan yang tepat,” jelas Moefti dalam keternagan tertulisnya.
Dia menilai, kebijakan itu akan memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi IHT, baik dari sisi keberlangsungan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Asosiasi, kata Moefti tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gapri) Henry Najoan berharap pemerintah tidak melanjutkan revisi PP 109/2012.
Alasannya, kondisi industri IHT semakin berat pascakebijakan kenaikan tarif cukai. Saat ini, IHT diatur dengan lebih dari 200 peraturan.
Henry juga sangat menyayangkan sikap Kementerian Kesehatan yang tidak pernah melibatkan para pelaku industri dalam pembahasan revisi PP 109/2012.
Padahal berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang–undangan pasal 96, setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparan pada setiap tahap perumusannya.
Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi tersebut.
‘’Kebijakan revisi PP 109/2012 itu berdampak serius terhadap IHT yang telah menyerap lebih dari 6,1 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir dan berkontribusi lebih dari Rp 200 triliun pada penerimaan Negara,’’imbuh Sekjen Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suhardjo.
Suhardjo menambahkan, Formasi bersama dengan Gaprindo dan GAPPRI, menentang keras usulan revisi PP 109/2012 dan berharap Presiden bisa turun tangan untuk turut memikirkan kesejahteraan IHT.
Revisi PP 109/2012 dinilai tak sejalan dengan semangat pemerintahan Jokowi yang mendorong adanya transparansi dalam proses pembuatan peraturan-perundang-undangan serta mempermudah kegiatan investasi dan berusaha, yang berorientasi pada penciptaan lapangan pekerjaan.