Mengenal Cara Kerja Skema Ponzi yang Rugikan Nasabah Jiwasraya
Pengamat ekonomi dan perpajakan, Yustinus Prastowo mengungkapkan, produk asuransi PT Asuransi Jiwasraya
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dan perpajakan, Yustinus Prastowo mengungkapkan, produk asuransi PT Asuransi Jiwasraya yang terbit pada 2012 merupakan investasi berskema Ponzi.
Yustinus menjelaskan, investasi Ponzi merupakan salah satu modus investasi bodong (palsu) yang membayar keuntungan investor dari uang mereka sendiri, atau uang dari investor berikutnya.
Investasi ini ditandai dengan janji pemberian bunga pasti (fix rate) di angka 9 persen hingga 13 persen untuk produk JS Saving Plan, dan produk asuransi tradisional dengan bunga hingga 14 persen.
Kemudian, pembayaran atas investasi bukan dari keuntungan yang diperoleh dari lembaga yang menjalankan bisnis keuangan tersebut.
"Jadi skema Ponzinya itu seperti gali lobang tutup lobang dengan cari premi baru untuk bayar keuntungan nasabah dari premi yang lama.
Kemudian untuk menunjukkan performa yang bagus, dilakukan window dressing atau poles laporan keuangan dengan premi dimasukkan sebagai pendapatan, bukan juga dicatat sebagai utang," ujarnya di Jakarta, Senin (30/12/2019).
Baca: Kisruh SBY-Jokowi Soal Jiwasraya Disebut Gara-gara OJK Kurang Pengawasan
Baca: Dianggap Lalai Soal Jiwasraya, DPR akan Panggil PricewaterhouseCoopers
Baca: Skandal Jiwasraya Dituding Terjadi Sejak Era SBY, Ini Kata Orang Partai Demokrat
Karena itu, Yustinus menjelaskan, teka-teki penyebab defisitnya keuangan Jiwasraya yang hingga Desember 2019 mencapai angka Rp 32 triliun mulai terjawab.
Selain adanya praktik korupsi yang merugikan perusahaan dan negara lebih dari Rp 13,7 triliun, kini giliran produk asuransi Jiwasraya yang diterbitkan tanpa prinsip kehati-hatian dituding menjadi salah satu penyebabnya defisit.
Ia menambahkan, sebelum menjual produk asuransi dengan iming-iming bunga pasti harusnya direksi lama Jiwasraya bersama regulator lebih dulu menghitung manfaat dan risiko produk secara cermat.
Hal ini dimaksudkan agar ke depannya perusahaan tidak mengalami gagal bayar (default) yang akhirnya merugikan investor atau nasabah.
"Produk ini kan beresiko tinggi, apalagi untuk asuransi. Beda kalau non asuransi mungkin masih bisa ditolerir dan soal pengawasan, kenapa produk ini disetujui," pungkasnya.