Soal Green Fuel, Menristek Beberkan Potensi Riset dan Inovasinya Di Hadapan Komisi VII
Anggota DPR dari fraksi Nasdem ini pun menegaskan bahwa potensi kelapa sawit untuk fuel ini harus ada risetnya dan Kemenristek
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menanyakan kepada Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro terkait inovasi untuk bahan bakar (fuel).
Ia mengatakan komisinya mendengar bahwa komoditas yang melimpah di Indonesia seperti kelapa sawit dapat dijadikan sebagai bahan bakar khusus untuk bahan bakar pesawat atau avtur.
Pernyataan itu disampaikannya saat Komisi VII menggelar Rapat Kerja (raker) dengan Menristek/Kepala BRIN di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (21/1/2020) sore.
"Dalam hal fuel, Kita dengar bahwa kelapa sawit bisa bahan untuk avtur, apalagi saat ini sedang ada masalah antar Amerika dan Eropa," ujar Sugeng.
Baca: Menteri Industri Primer Malaysia: India Tak Boikot Minyak Sawit Kami
Baca: PM Mahathir Mohamad Tanggapi Keputusan India Boikot Minyak Sawit Malaysia
Baca: Presiden Jokowi: B30 Menghemat Rp 63 Triliun Pertamina Siap Sukseskan B30
Anggota DPR dari fraksi Nasdem ini pun menegaskan bahwa potensi kelapa sawit untuk fuel ini harus ada risetnya dan Kemenristek perlu menindaklanjuti hal itu.
"Bisa kita manfaatkan ini bahwa kita punya alternatif lain untuk bahan avtur, Ristek tentang ini perlu dilakukan," kata Sugeng.
Menjawab pertanyaan Sugeng, Menteri Bambang mengatakan bahwa yang mengetahui terkait peluang kerja sama ekspor impor untuk komoditas satu ini diantaranya adalah para peneliti yang kini berada di luar negeri.
Oleh karena itu, demi meningkatkan kerja sama ini, para diaspora akan dimanfaatkan sebagai strategi khusus dalam memperluas jangkauan kerja sama terkait kelapa sawit ini.
"Terkait kerja sama dengan luar, yang memahami benar tentang kelapa sawit adalah peneliti Indonesia yang bekerja di luar negeri, strategi kami adalah diaspora," kata Bambang.
Terkait upaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor Bahan Bakar Minyak (BBM) sebenarnya telah dilakukan.
Hal ini menyusul defisit yang ditunjukkan pada neraca perdagangan Indonesia 2018 lalu, salah satu penyebab utamanya adalah karena impor minyak dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Satu diantaranya yang telah dilaksanakan yakni sejak 1 September 2018 pemerintah memperluas program biodiesel 20 persen (B20) ke sektor Non Public Service Obligation (Non PSO).
Perlu diketahui, B20 terdiri dari campuran solar dengan produk turunan minyak kelawa sawit (CPO) yang disebut Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang dilakukan di Terminal Bahan Bakar Minyak milik PT Pertamina (Persero).
Namun selain B20, ada yang namanya 'green fuel', bahan bakar dari minyak sawit yang memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan B20, khususnya untuk penggunaan pada mesin kendaraan.
Bahan bakar jenis ini adalah campuran solar dengan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang juga merupakan turunan dari CPO.
Menteri Bambang menjelaskan bahwa Kemenristek pun akan terus mendukung temuan terkait green fuel.
Namun ia menekankan bahwa permasalahannya saat ini adalah apakah riset dari Kemenristek akan dilirik Pertamina ?.
Mengingat saat ini perusahaan minyak pelat merah itu pun tengah mengadakan riset sendiri yang salah satunya melibatkan pihak asing.
"Apapun penemuan green fuel ini akan kami dukung. Tantangannya, apakah Pertamina benar mau mengadopsi ini ? Karena saat ini Pertamina sedang mengadakan riset green fuel di 2 proyek yaitu katalis yang dari ITB dan ada juga dengan pihak asing," jelas Bambang.
Ia pun meminta agar Komisi VII yang membidangi energi, riset dan teknologi serta lingkungan hidup dapat mendorong agar Pertamina bisa mengutamakan produk dalam negeri.
"Mungkin bapak-bapak di sini bisa mendorong supaya Pertamina mengutamakan produk dalam negeri dalam mengelola green fuel," papar Bambang.
Bambang kemudian menyebut bahwa sebenarnya laut dalam memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi alternatif green fuel, sehingga tidak selalu mengandalkan CPO.
Ia pun memahami bahwa Indonesia belum memiliki lembaga yang melakukan penelitian secara khusus mengenai laut dalam.
"Saat ini memang belum ada institusi yang meneliti soal laut dalam, laut memang perlu kita teliti untuk alternatif green fuel kita selain kelapa sawit," pungkas Bambang.
Perlu diketahui, dilansir dari web resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), laut dalam memiliki potensi sumber migas yang melimpah.
Untuk sumber komoditas satu ini, Indonesia memiliki 60 cekungan minyak dan gas bumi yang diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 miliar barrel minyak.
Dari jumlah cekungan itu, 40 cekungan terdapat di lepas pantai dan 14 cekungan lainnya terletak di pesisir.