Sri Mulyani Bicara Dampak Virus Corona Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Risiko-risiko yang termaterialisasi pun membuat kepercayaan pelaku ekonomi dan pasar (confidence) terhadap perekonomian kembali melemah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani tak begitu yakin akan terjadi perbaikan ekonomi tahun 2020.
Sebaliknya, ia bahkan mulai khawatir akan terjadi pesimisme yang membawa pertumbuhan ekonomi negatif, antara lain dipicu mewabahnya virus Corona ke banyak negara di berbagai dunia.
Berdasarkan laporan BBC Selasa (28/10), jumlah korban meninggal yang direnggut virus Corona mencapai 106 orang, semuanya di China daratan, dan jumlah terinfeksi lebih dari 4.500 orang.
Dalam paparan Outlook Ekonomi 2020 kepada Komisi XI DPR RI, Selasa (28/1), Menkeu Sri Mulyani menjelaskan optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan perdagangan global sebenarnya telah dirasakan sejak akhir tahun lalu.
Akan tetapi, justru pada Januari ini optimisme tersebut memudar.
“Semua outlook pada Fall (September-November) 2019 menggambarkan ekonomi dunia akan mengalami recovery baik dari sisi pertumbuhan maupun perdagangan.
Baca: China Temukan Obat Penangkal Virus Corona Tapi Masih Dirahasiakan, Ada yang Sudah Sembuh?
Namun masuk Januari muncul risiko-risiko,” ujar Sri.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meneruskan, lazimnya pada Januari terjadi momentum untuk mendukung ekonomi, seperti Tahun Baru dan Imlek.
Namun, virus corona telah mematahkan hal itu.
"Ini menimbulkan pesimisme yang menggulung ekonomi pada Januari, yang biasanya terjadi Chinese New Year dianggap salah satu momentum China bisa meningkatkan pertumbuhan ekonominya, tapi adanya corona virus dan kemudian terjadi policy lock down, maka seluruh potensi pertumbuhan ekonomi China dari domestic factor enggak realize," jelasnya.
Berbagai peristiwa yang memicu sentimen negatif di awal tahun ini, menurut Sri Mulyani, menunjukkan sumber risiko perekonomian semakin sulit terprediksi dan sangat volatile.
Risiko-risiko yang termaterialisasi pun membuat kepercayaan pelaku ekonomi dan pasar (confidence) terhadap perekonomian kembali melemah.
Sri Mulyani melanjutkan risiko itu antara lain meningkatknya ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran pasca-penembakan ahli perang Iran, Jenderal Qassem Soleimani pada 3 Januari silam oleh serangan peluru kendali AS.
Tensi antara AS-Iran diperkirakan akan terus menghantui sentimen yang berasal dari kawasan Timur Tengah tersebut.
Proses pemakzulan Presiden AS, Donald Trump juga menimbulkan tensi politik di dalam negeri AS sehingga menimbulkan sentimen negatif bagi perekonomian.
Teranyar, merebaknya virus Corona dari Wuhan, China ke sejumlah negara di dunia. Hingga saat ini, jumlah negara yang terjangkit virus Corona mencapai 16 negara dengan total korban meninggal naik menjadi 106 orang.
“Terjadinya virus Corona menimbulkan pesimisme yang menggulung ekonomi di Januari ini. Tahun baru China biasanya dianggap salah satu momentum China bisa memperbaiki pertumbuhan ekonominya melalui faktor domestik yaitu konsumsi tetapi kini tidak terealisasi dan kehilangan momentumnya,” ujar Menkeu Sri Mulyani.
Pemerintah berupaya untuk terus membaca dan melihat seluruh potensi risiko baik secara global maupun domestik.
Di saat yang sama, pemerintah juga akan terus melihat potensi pertumbuhan ekonomi agar momentum tetap terjaga di tahun 2020 ini.
“Semua negara wajib selalu mewaspadai dan menyediakan instrumen kebijakan untuk terus tumbuh, tapi juga tidak buta terhadap environment yang sangat tidak pasti dan volatile. Kita terus melihat titik-titik rawan yang harus kita jaga agar tidak menimbulkan spill-over ke dalam perekonomian,” kata Sri.
Sentimen Negatif
Rentetan sentimen negatif memengaruhi keyakinan terhadap perbaikan kondisi perekonomian dan perdagangan global di tahun 2020 ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tantangan pemerintah menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap berat di tengah risiko ketidakpastian global yang tinggi.
“Risiko bisa sangat unpredictable dan sangat volatile sehingga semua negara wajib selalu mewaspadai dan menyediakan instrumen kebijakan untuk bisa terus menjaga momentum pertumbuhan namun juga tidak buta terhadap environment yang sangat tidak pasti,” tutur Sri.
Terjadinya peristiwa-peristiwa meningkatnya tensi AS vs Iran, tensi politik akibat proses pemaksulan Presiden Donald Trump di AS, hingga terjadinya wabah Virus Korona, membuat keyakinan (confidence) terhadap perekonomian menjadi melemah.
Keyakinan yang melemah itu dikhawatirkan akan memengaruhi keputusan investasi, yang diharapkan menjadi salah satu sumber utama perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 ini.
“Sekarang ini, battle terberat kita adalah menjaga confidence di tengah volatilitas dan risiko yang meningkat,” sambungnya.
Seperti yang diketahui, pertumbuhan investasi yang tecermin dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) struktur PDB Indonesia mengalami pelemahan yang signifikan sepanjang 2019 jika dibandingkan dengan 2018.
Pertumbuhan investasi yang sempat hampir menyentuh 8% pada kuartal I-2018 terus merosot menjadi hanya 4,21% pada kuartal III-2019.
Baca: Hari Antikorupsi Sedunia, Menkeu: Tidak Hanya Sampaikan Antikorupsi, Tapi Lakukan Langkah Konkret
Kemenkeu memproyeksi, pertumbuhan investasi pada kuartal IV-2019 sebesar 4,75 sehingga dengan demikian pertumbuhan investasi untuk tahun 2019 secara penuh hanya 4,74%.
Dengan kinerja pertumbuhan investasi yang demikian, pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2029 (full year) hanya sebesar 5,05%.
Sementara tahun ini, target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% disokong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi.
“Indonesia perlu terus membaca dan melihat apa saja yang menjadi potensi pertumbuhan ekonomi, juga apa saja yang menjadi titik rawan untuk kita jaga agar tidak menimbulkan spill-over ke dalam perekonomian kita,” tutur Sri Mulyani. (Kontan.co.id)