AS Ngajak RI Perang Dagang, Ekspor 5 Komoditas Bisa Kena Dampaknya
Fasilitas bea masuk impor atau skema GSP yang diberikan AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia akan hilang.
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kinerja ekspor nasional ke Amerika Serikat (AS) diprediksi akan terganggu, menyusul kebijakan Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) mencabut preferensi khusus untuk Indonesia dalam daftar negara berkembang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Fasilitas bea masuk impor atau skema Generalized System of Preferences (GSP) yang diberikan AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia akan hilang.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, neraca dagang Indonesia dengan AS juga tercatat positif atau surplus sebesar 8,4 miliar dolar AS pada 2019, meningkat 2,5 persen dari 2018.
Baca: Prediksi Line-up Inter vs Ludogorets Liga Europa, Conte Tetap akan Bermain Serius
Baca: Pemerintah Minta Arab Saudi Izinkan WNI yang Sudah Tiba di Tanah Suci Jalankan Ibadah Umrah
Namun, pertumbuhan tersebut terancam dengan potensi munculnya tarif baru yang akan dikenakan AS
"Kalau kita diam saja, tidak protes maka kalau produk kita tidak kompetitif, AS cari suplier baru. Kita kehilangan 11 persen ekspor kalau ada suplai baru di luar Indonesia yang mereka beli murah," ujarnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Sementara, Aviliani merincikan, jika AS mengajak perang dagang dari keputusan itu maka ada 5 komoditas andalan Indonesia yang akan terkena dampaknya.
"Yang berpotensi akan turun yakni tekstil dan pakaian, alas kaki, karet, furniture, dan elektronik," katanya.
Sebab, dengan dikenakannya tarif baru harga komoditas-komoditas tersebut akan naik.
Karena itu, ia menyarankan, pemerintah mesti menyiapkan komoditas mana saja yang didorong dalam 10 tahun kedepan, sehingga memiliki daya saing ekspor.
"Kita siapkan mana yang kompetitif dalam 10 tahun lagi, barang apa yang dibutuhkan di satu negara. Harus ada daya saing kompetitif," pungkas Aviliani.