Serikat Pekerja Persoalkan Sulitnya Buruh Aice Ambil Cuti Haid, Seorang Buruh Ungkap Kisahnya
F-SEDAR persoalkan kesulitan buruh mengambil cuti haid. Seorang buruh ungkap kisahnya.
Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) menanggapi klarifikasi yang diberikan AICE Indonesia atas pemogokan buruh PT Alpen Food Industry (AFI).
Untuk diketahui, Buruh Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) PT AFI merupakan anggota F-SEDAR.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 600 buruh AICE Indonesia melakukan mogok kerja sejak 21 Februari 2020.
Menanggapi klarifikasi yang diberikan PT AFI, F-SEDAR menegaskan serikat pekerja bukan hanya mempersoalkan perkara upah.
Baca: Jubir Serikat Buruh Ungkap Seorang Pekerja Perempuan di AICE Tak Dapat Cuti Haid hingga Operasi
Dilansir laman resmi F-SEDAR, serikat pekerja juga mempermasalahkan cuti haid yang sulit diambil serta cuti sakit yang sulit diurus.
Seorang pekerja perempuan di AICE Indonesia, Elitha Tri Novianty, menceritakan kesulitannya untuk mendapatkan cuti haid.
Padahal, Elitha memiliki permasalahan kesehatan yaitu endometriosis.
Menurut Elitha, setiap kali dirinya datang bulan, ia mengalami pendarahan yang begitu banyak.
Tak hanya itu, ia juga mengaku merasakan nyeri luar biasa setiap kali haid.
Namun, Elitha terpaksa tetap masuk kerja karena tak mendapat surat keterangan dokter (SKD) untuk bisa libur kerja tanpa ada pemotongan gaji.
"Kenapa saya maksain kerja, karena setiap saya minta SKD dari pihak klinik, dari faskes 1, keluhan sakit haid ini dia bilang ini sakit biasa, dia nggak mau ngasih SKD," terang Elitha, saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (1/3/2020) siang.
"Sedangkan kalau di PT Alpen itu kalau tidak ada SKD itu dipotong gaji, jadi daripada saya harus dipotong terus gajinya gara-gara saya pendarahan terus ya saya maksain untuk masuk waktu tanggal 6 Januari itu," sambungnya.
Rupanya, kondisi Elitha saat itu semakin memburuk.
Baca: Sembilan Alasan Buruh Tolak Omnibus Law
Bahkan seorang teman memberi tahu Elitha ada banyak darah di seragamnya,
Elitha pun kemudian ke klinik perusahaan namun ia mengaku hanya diberi pereda nyeri.
"Kalau haid biasa, pakai pereda nyeri udah sembuh ya, ini nggak sembuh malah makin nggak bisa nahan sakit," ungkapnya.
"Besoknya saya nggak masuk kerja soalnya pendarahan makin banyak, saya pendarahan dari 2 Januari 2020 sampai 5 Februari 2020, sekitar 1 bulan itu pendarahan terus-terusan, nggak berhenti," tambah Elitha.
Elitha menuturkan, klinik perusahaan tidak bisa memberinya rujukan ke rumah sakit.
Akhirnya, Elitha memutuskan untuk memeriksakan diri ke Rumah Sakit Hermina menggunakan uang pribadinya.
Dari hasil USG di rumah sakit tersebut, Elitha mengetahui endometriosisnya semakin parah.
Ia pun menunjukkan hasilnya pada dokter dari klinik perusahaan.
Dokter perusahaan pun kemudian mengakui kondisi Elitha semakin parah.
"Dokter yang di klinik perusahaan bilang kondisi kayak gini nggak bisa dibawa kerja lagi, takutnya terjadi pendarahan di tempat kerja," kata Elitha.
Elitha pun akhirnya menjalani operasi pada 7 Februari 2020 lalu.
Namun, SKD dari pengobatannya tersebut tidak diterima oleh perusahaan.
Baca: Jubir Serikat Buruh Sebut 13 Buruh AICE Keguguran, AICE Klaim Telah Perhatikan Kesehatan Buruh Hamil
Gaji Elitha pun dipotong.
"Bahkan bulan lalu sempat digaji di bawah UMK, dipotong sampai setengah gaji,
udah protes, katanya mau dirapel bulan ini tapi ternyata nggak," ujar dia.
Elitha menerangkan, sebenarnya perusahaan tidak akan memotong gaji bila terdapat SKD yang bisa diterima.
Ia juga menuturkan, perusahaan baru mengambil kebijakan setelah mendapat tekanan dari serikat pekerja.
"Akhirnya mereka baru datang ke rumah saya setelah saya berminggu-minggu nggak masuk kerja, itu juga setelah ditekan sama serikat," kata Elitha.
"Terus mereka kemarin ngasih kebijakan setelah operasi (libur) satu minggu saja," sambungnya.
Elitha pun menuturkan kondisinya semakin parah ketika perusahaan memberikan demosi pada Elitha.
Baca: Buruh Gelar Demo di DPR Tolak Omnibus Law
Demosi tersebut ia terima akibat dirinya ikut mendemo perusahaan pada 2017 lalu.
"Saya diturunkan jabatan itu gara-gara saya ikut mogok kerja pada tahun 2017, seharusnya tidak boleh kan itu termasuk tindakan balasan dari perusahaan," tutur Elitha.
Merasa tidak mampu untuk bekerja di bagian produksi dalam kondisi kesehatannya tersebut, Elitha pun melakukan negosiasi dengan HRD.
"Saya coba untuk menegosiasi tapi dari perusahaan tetap menurunkan jabatan saya, saya tetap di produksi sampai sekarang," ujarnya.
Namun, Elitha juga mengatakan, sebelum ia dioperasi, perusahaan memindahkannya ke bagian produksi yang beban kerjanya lebih ringan.
Kendati demikian, kondisi Elitha sudah melemah sehingga ia pun harus dioperasi.
Menurut Elitha, banyak buruh perempuan lainnya yang kesulitan memperoleh cuti haid di saat kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja.
Hal itu lantaran faskes setempat yang mereka tuju tidak dapat memberikan SKD.
"Jadi kan perusahaan itu hanya memberikan cuti haid kalau ada SKD dari faskes setempat, yang kita daftarkan ke BPJS, sedangkan teman-teman, termasuk saya ketika minta SKD ke klinik perusahaan itu mereka akan bilang 'ini kan bukan penanganan dokter umum, ini penanganan bidan karena ini berkaitan dengan siklus haid dan kandungan, ini bukan spesialis saya' ," terang Elitha.
"Sedangkan teman-teman sendiri kalau pakai SKD dari bidan atau dokter yang lain, nggak diterima sama perusahaan, jadi kalau izin sakit, dipotong gaji," sambungnya.
Elitha pun menyampaikan, aksi mogoknya tak pernah bertujuan untuk menjatuhkan AICE Indonesia.
Ia hanya ingin perusahaan bersikap lebih baik pada karyawannya.
"Saya tidak ingin menjatuhkan AICE, tapi kalau misalkan buruh atau karyawannya diperlakukan seperti ini, tidak memanusiakan manusia, ya kan mereka juga merekrutnya manusia, bukan robot," kata Elitha.
"Jadi kalau mereka mau dimajukan oleh kita ya mereka juga harus bisa mensejahterakan karyawannya," sambungnya.
Tuntutan Serikat Pekerja
Selain persoalan upah dan sulitanya mendapat cuti haid ataupun izin sakit, ada pula sejumlah persoalan lainnya.
Yaitu mengenai target tinggi, ibu hamil yang masih bekerja pada malam hari, masalah keguguran, penggunaan buruh kontrak, mutasi sepihak, dan sanksi yang tidak proporsional untuk buruh yang menjadi anggota serikat.
Sementara itu, dilansir Kompas.com, Legal Corporate Alpen Food Industry, Simon Audrey Halomoan Siagian, meyakini pihaknya sudah memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 72 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal tersebut memuat larangan pengusaha mempekerjakan pekerja perempuan hamil masuk pada shift malam (23.00-07.00).
Baca: AICE Klaim Beri Tunjangan Rp 700 Ribu pada Karyawan, Juru Bicara Serikat Buruh: Kebohongan Besar
Namun hal itu hanya berlaku bagi pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya untuk bekerja pada shift malam.
Sementara, jika tidak ada risiko kandungan maka pelarangan itu tidak berlaku.
Kendati demikian, pasal yang sama mewajibkan perusahaan memberi buruh perempuan yang bekerja shift malam dengan makanan bergizi.
"Kami sudah lakukan itu."
"Kami selalu berikan susu kotak dan makanan yang bergizi setiap malam entah roti atau makanan lain dalam rangka suplai gizi ibu-ibu yang mengandung," ujarnya.
Baca: Apindo: Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Bukan Cuma Soal Buruh dan Pengusaha
Tak hanya itu, menurut Simon, setiap dua minggu sekali PT AFI mendatangkan bidan.
Mereka juga menyediakan pelayanan perawat dan dokter di unit pelayanan kesehatan setiap harinya untuk memastikan kesehatan buruh, termasuk buruh hamil.
Berdasarkan catatan perusahaan, terdapat 14 dari 91 buruh hamil yang mengalami keguguran.
Angka itu dinilai cukup tinggi.
Oleh karena itu, manajemen memutuskan untuk melakukan medical check up oleh RS Omni khusus pada buruh hamil yang mengalami keguguran.
Menurut Simon, pihak rumah sakit mendapati keguguran tidak berkaitan dengan kondisi kerja.
Terlebih, perusahaan juga telah memindahkan sementara tugas mereka dari posisi yang dilarang.
Baca: Pemerintah Ungkap 285 Ribu Buruh Terkena PHK dan Ada 11 Juta Orang Menganggur
Adapun posisi yang dilarang dalam ketentuan undang-undang adalah tugas dalam posisi berdiri, posisi yang bersentuhan dengan mesin yang bergetar, dan posisi yang membuat mereka mengangkat benda berat.
"Kami pastikan semua pekerja hamil bekerja sesuai aturan perundang-undangan," ujarnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Aice Klaim Perhatikan Kesehatan Karyawan Hamil"
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Kompas.com/Nabilla Tashandra)