Komisi XI DPR: PP Pemulihan Ekonomi Nasional Banyak Mudharatnya, Batalkan Saja!
Dalam PP Nomor 23 Tahun 2020 tersebut, bank peserta atau bank jangkar merupakan bank yang termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan meminta Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 23 Tahun 2020 mengenai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Penanganan Pandemi Covid-19, segera dibatalkan.
PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2020, dinilai memunculkan dikotomi antara bank peserta atau bank jangkar dengan bank pelaksana.
"Banyak mudharatnya dari manfaatnya, maka sebaiknya PP 23/2020 dibatalkan," tutur Heri Gunawan kepada wartawan, Jakarta, Senin (19/5/2020) malam.
Hergun, sapaan akrabnya, menjelaskan, dalam PP tersebut, bank peserta atau bank jangkar merupakan bank yang termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar.
Baca: Doni Monardo Tanggapi Maraknya Tagar #IndonesiaTerserah di Medsos, Begini Pesannya ke Tenaga Media
Bank peserta akan menerima penempatan dana pemerintah untuk memberi likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit, pembiayaan, atau memberikan tambahan kredit.
Baca: Lima Perusahaan Minyak Diduga Terlibat Kartel Harga BBM, KPPU Mengaku Kantongi Satu Alat Bukti
Sedangkan bank pelaksana, kata Hergun, bank yang akan menerima dana dari bank peserta yang kemudian memberikan restrukturisasi, pembiayaan atau memberikan tambahan kredit kepada usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi.
"Pendeknya, pemerintah mengucurkan dana kepada bank peserta atau bank jangkar. Kemudian bank jangkar akan menyalurkan ke bank pelaksana," tutur Hergun.
Baca: Hikmah Pandemi Corona di Mata Natasha Rizky: Bisa 24 Jam Full Jalani Peran Istri dan Juga Ibu
Menurutnya, dikotomi antara bank peserta dengan bank pelaksana tidak perlu terjadi jika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melaksanakan perannya, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).
"Menghadapi pandemi Covid-19 para pejabat KSSK (Menkeu, BI, OJK, LPS) seakan-akan lebih memilih melindungi tanganya. Fakta tersebut terungkap jelas dalam Perppu Nomor 1/2020, di mana dalam Pasal 27 dijelaskan bahwa para pejabat KSSK tidak bisa dijerat oleh hukum," tutur Hergun.
"KSSK ingin meminjam tangan 15 bank peserta untuk berperan menjadi regulator padahal bank-bank tersebut sejatinya berstatus sebagai obyek kebijakan, remot kontrol kebijakan tetap dipegang oleh KSSK. Kesimpulannya, bank peserta hanya dijadikan tumbal," sambungnya.
Ia menyebut, dalam Undang-Undang
Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Bab III terutama pasal 16, 17, 18, 19 dan pada bagian ketiga penanganan permasalahan likuiditas bank sistemik, maka lembaga yang berwenang dan diberi tugas mengurusi masalah likuiditas perbankan yaitu Kemenkeu, BI, OJK dan LPS.
"Tak ada satu pasal pun yang menyebut peran perbankan, karena memang perbankan tidak termasuk regulator, tapi objek kebijakan," ucapnya.
Hergun pun menilai, pasal 12 dalam Peraturan Pemerintah terkait PEN, bisa menjadi sumber petaka bagi Himpunan bank milik negara (Himbara) yang menjadi bank peserta, seperti BRI, Bank Mandiri, BNI dan BTN.