Mengapa Refund Tiket Mesti Lama? Berikut Penjelasannya
Di momen Lebaran yang biasanya ramai mudik, Presiden Joko Widodo mengimbau warga agar tidak mudik lantaran COVID-19.
Editor: Hendra Gunawan
Sekarang permintaan refund tiba-tiba melonjak tinggi, tapi di sisi lain enggak ada pemasukan dari penjualan tiket, baik untuk maskapai ataupun travel agent.
Jadi duit untuk refund-nya juga enggak ada, travel agent juga enggak nerima cash dari maskapai.
Customers tentu berharap proses refund berjalan seperti biasa.
Tapi, travel agent ternyata enggak bisa melayani refund seperti biasa dan butuh proses lebih lama.
Kenapa? Karena prosesnya 'nyangkut.'
Dari dulu travel agent ambil untung dikit dari penjualan tiket, antara 2-7.5%.
Buat refund 1 tiket, butuh untung jual 20-an tiket.
Dalam krisis Covid-19 ini, maskapai-maskapai di luar negeri banyak dikritik karena menolak refund, namun di Indonesia maskapai-maskapai masih bersedia memproses refund.
Masalahnya, kesulitan refund dalam bentuk tunai karena anjloknya penjualan, jadi enggak ada pemasukan.
Pemerintah mengharuskan airline-airline tetap me-refund, sementara airline-airline masih harus bayar gaji karyawan dan sewa pesawat, tapi uang yang diterima hampir berhenti karena Covid-19.
Travel agent kejepit, antara customer dan airline.
Refund yang diberikan airline berupa pemulihan saldo Top Up Balance travel agent di airline atau travel voucher, tapi customer maunya dikembalikan cash.
Mau kasih cash, harus dari penjualan tiket, tapi penjualan lagi anjlok habis.
Mau enggak mau, airline dan travel agent cari cara untuk bagaimana bisa memenuhi refund tanpa membangkrutkan mereka.
Maka untuk tiket-tiket internasional, airline mulai banyak menggunakan credit shell atau travel voucher untuk refund.
Kalau di-refund dalam bentuk travel voucher, saya rasa banyak customer yang kecewa karena mengharapkan refundnya berbentuk uang.