Anggota DPR Nilai Skema Dana Talangan Buat Garuda Berpotensi Jadi Masalah
Deddy menilai Garuda yang sudah mendekati sekarat malah disodori pinjaman, ditambahi beban baru, sementara pemilik saham minoritas seolah tanpa risiko
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus menilai skema penyelamatan Garuda Indonesia semakin tidak jelas juntrungannya, sebab terkesan hanya akan menyelamatkan pemegang saham minoritas.
Hal itu disampaikan setelah Kementerian BUMN menyatakan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, skenario penyelamatan Garuda menggunakan skema dana talangan.
Deddy mengungkapkan, dana talangan itu berbentuk pinjaman yang harus dikembalikan beserta bunganya.
Baca: Garuda Tegaskan Dana Talangan dari Pemerintah Bukan untuk Membayar Utang
Menurut Deddy, patut dipertanyakan motivasi dan aspek legal dari skema ini sebab bentuknya sangat tidak lazim dan berpotensi mendatangkan masalah di kemudian hari.
“Mari kita lihat nanti rancangan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK), yang saya dengar sedang difinalisasi oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan ini, melalui keterangan tertulis, Senin (15/6/2020).
Menurut anggota DPR RI dari Dapil Kalimantan Utara ini, lazimnya cara yang ditempuh bagi perusahaan yang sudah listed di bursa adalah dengan menerbitkan saham baru (right issue).
Dengan cara ini maka para pemegang saham harus menambahkan modal, jika tidak maka otomatis porsi sahamnya berkurang (terdelusi).
“Pemerintah bisa menginjeksi PMN untuk membeli saham baru dan para pemegang saham yang lain juga harus menyetorkan dananya,” ujar Deddy.
Sebab, lanjut Deddy, Garuda Indonesia membutuhkan injeksi dana segar untuk mempertahankan kondisi ekuitas yang bermasalah.
Namun, kata Deddy, Garuda yang sudah mendekati sekarat malah disodori pinjaman, ditambahi beban baru, sementara pemilik saham minoritas seolah tanpa risiko.
Padahal pemilik saham minoritas leluasa mengatur bisnis Garuda akibat klausul keharusan persetujuan 75% pemegang saham untuk mengambil keputusan strategis.
Bagi Deddy, skema dana talangan membuat pemerintah dan Garuda seolah disandera dan tidak berdaya.
“Semua maskapai penerbangan sedang menghadapi masalah, khusus Garuda sebelum pandemi Covid-19 pun sudah bermasalah. Tetapi skenario ini adalah yang paling menimbulkan tanda tanya, memalukan dan lucu. Presiden perlu tahu bahwa skenario dana talangan ini adalah akal bulus menyelamatkan pihak tertentu yang ingin mendominasi Garuda, tetapi tidak mau berkeringat,” lanjut Deddy.
Pemeritah berencana memberikan pinjaman dengan bunga sebesar Rp8,5 triliun kepada Garuda Indonesia.
Pinjaman dengan bunga yang harus dikembalikan serta tidak bisa dikonversi itu menurut rencana akan dikucurkan melalui SMI sebesar Rp5 triliun, LPEI sebesar Rp1 triliun, dan instrumen utang lainnya sebesar Rp2,5 triliun.
Deddy menyampaikan, dana sebesar Rp1 triliun itu adalah jaminan utang jangka panjang, dan sekitar Rp5 triliun dalam bentuk Convertible Bond (CB) yang ditanggung Garuda dan bisa di-redeem setiap saat oleh para pemegang saham.
Konfigurasi pemegang saham Garuda Indonesia saat ini menurut data adalah Pemerintah Indonesia 60,5%, publik 9%, dan TransAirways beserta proxinya menurut informasi sekitar 30,5%.
“Kita jangan lupa sejarah, BUMN punya pengalaman buruk dengan Rekening Dana Investasi (RDI), ini skema dukungan dana yang dimasukkan ke BUMN bukan dalam bentuk PMN tetapi dalam bentuk kerja sama investasi. Skema ini membawa akibat yang berat bagi BUMN sendiri karena terlilit utang buga dan pokok kepada pemerintah yang notabene adalah pemegang saham,” ujar Deddy.
Menurut Deddy, inilah penyebab kinerja BUMN yang mendapatkan RDI tidak optimal dan terus meminta dukungan dana, yang ujungnya kemudian RDI tersebut dikonversi menjadi debt to equity swab menjadi PMN.
Perlu dicatat, hingga 2006 saja BUMN yang memiliki utang dalam bentuk RDI ke pemerintah itu sebesar Rp50,65 triliun dan tidak ada yang tahu kondisinya saat ini. Perlu dicatat bahwa RDI dan Subsidiary Loan Agreement (SLA) yang dikucurkan pemerintah bagi BUMN itu tidak jelas skema dan mekanismenya di mana umumnya berasal dari pinjaman luar negeri.
Oleh karena itu menurut Deddy, dana talangan BUMN itu harus jelas mekanisme dan dasar hukumnya. Seperti kita ketahui, dasar hukum tindakan BUMN itu ada di PP 72/2016 sebagai pengganti PP 44/2005 dan di dalam PP tersebut tidak ada aturan mengenai dana talangan.
“Apakah PMK yang akan dikeluarkan nanti akan sejalan atau justru bertabrakan dengan PP, mari kita lihat. Terlepas dari aturan hukum, menurut saya ini logika yang tidak benar, salah sejak awal,” kata Deddy.
"Ini skema yang hanya diciptakan untuk menyelamatkan pihak swasta agar sahamnya tidak terdelusi. Kan aneh, negara buntung 3 kali yaitu sebagai penjamin utang, rugi selisih bunga simpanan (karena Rp8,5T yang dijaminkan), dan negara berisiko buntung karena SMI dipaksa ambil surat utang berisiko," kata dia.
“Patut dicatat bahwa negara melalui Garuda yang harus menanggung semua costnya,” kata pria kelahiran Pematang Siantar ini.
“Ini berpotensi menjadi masalah dalam bungkus penyelamatan ekonomi nasional, harus didalami secara tuntas,” kata Deddy.
Bukan untuk Bayar Utang
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memastikan dana talangan yang diberikan pemerintah tidak dipakai untuk membayar utang.
"Kami telah menerima sinyal utama terkait dana talangan ini dari Kementerian Keungangan (Kemenkeu), tidak boleh untuk membayar sukuk," ucap Irfan dalam konferensi pers virtual, Jumat (5/6/2020).
Irfan mengatakan, stiumulus yang berbentuk dana talangan sebesar Rp 8,5 triliun digunakan untuk skema penyelamatan ekonomi terhadap sektor-sektor yang paling terdampak wabah Covid-19.
"Dalam penggunaanya dana talangan ini akan disesuaikan dengan instrumen yang disyaratkan oleh pemerintah," ucap Irfan.
Menurut Irfan, dana talangan merupakan pinjaman sehingga penggunaannya harus melalui pembicaraan bersama.
"Penggunaan dana talangan ini harus dirundingkan, dan mengikutsertakan perusahaan, Kemenkeu serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," kata Irfan.
"Dana talangan ini juga harus disepakati bersama, dalam hal jangka waktu dan skema pembayaran pengembalian dan juga rincian pemakaiannya," lanjut Irfan.
Terkait dana talangan ini, Irfan menjelaskan, pihaknya sedang mengkaji instrumen penggunaanya untuk apa saja. Kemudian Instrumen itu harus diterima oleh Kemenkeu.
"Tetapi kami sudah ada beberapa rencana pemanfaatan dana tersebut, seperti untuk modal kerja yang dan efisiensi perusahaan," ucap Irfan.
Irfan juga mengungkapan, bahwa dana talangan ini akan diturunkan dalam waktu dekat. Mengingat perusahaan saat ini sudah semakin kritis setiap harinya.
"Kami berharap dengan adanya dana ini perusahaan dapat menjadi lebih sehat, seusai wabah Covid-19 ini selesai dan penerbangan kembali normal," kata Irfan.
Sebelumnya, Pemerintah memberikan suntikan dana sebesar Rp 152 triliun ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdampak pandemi Covid-19.
Anggaran tersebut terbagi menjadi tiga skenario, yakni Penyertaan Modal Negara (PMN), pembayaran kompensasi, dan dana talangan.
Untuk dana talangan, ada lima BUMN yang akan mendapatkan dana tersebut, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp 8,5 triliun; Perum Perumnas (Persero) Rp 650 miliar; dan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Rp 3,5 triliun.
Ada juga PT Perkebunan Nusantara (Persero) sebesar Rp 4 triliun; serta PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebesar Rp 3 triliun. (Tribunnews/Nico/Hari)