ILO Ingatkan Ketidakpastian Pemulihan Pasar Kerja di Masa Pandemi Covid-19
Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder menegaskan pentingnya menggandakan usaha jika ingin keluar dari krisis ini ke kondisi yang lebih baik
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyampaikan jumlah jam kerja yang hilang di seluruh dunia pada pertengahan pertama tahun 2020 secara signifikan memburuk dari perkiraan sebelumnya.
ILO mengingatkan, ketidakpastian pemulihan pasar kerja pada pertengahan tahun kedua di tengah situasi krisis viru corona atau Covid-19.
Baca: KSAD Bahas Rencana Pelatihan Bela Negara untuk Calon dan Pekerja Migran Indonesia
Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder menegaskan pentingnya menggandakan usaha jika ingin keluar dari krisis ini ke kondisi yang lebih baik.
"Keputusan yang kita ambil saat ini akan berdampak untuk tahun-tahun ke depan dan bahkan melampaui 2030. Kendati negara-negara berada pada tahapan pandemi yang berbeda dan sudah banyak yang dilakukan," ujar Guy dalam keterangannya Rabu (1/7/2020).
Dia menambahkan bahwa minggu depan ILO menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Tinggi Global secara daring mengenai Covid-19 dan dunia kerja.
"Saya berharap pemerintah, pekerja dan pengusaha akan mempergunakan kesempatan ini untuk memaparkan dan mendengar ide-ide inovatif," harapnya.
ILO memonitor terdapat penurunan 14 persen dari jam kerja global selama kuartal kedua tahun 2020, yang setara dengan hilangnya 400 juta pekerjaan penuh waktu (berdasarkan 48 jam kerja seminggu).
Ini merupakan peningkatan tajam dari perkiraan yang sebelumnya yaitu penurunan sebesar 10,7 persen (305 juta pekerjaan).
Secara regional, hilangnya jam kerja untuk kuartal kedua antara lain Amerika (18,3 persen), Eropa dan Asia Tengah (13,9 persen), Asia dan Pasifik (13,5 persen), Negara-negara Arab (13,2 persen), dan Afrika (12,1 persen).
"Mayoritas pekerja di dunia 93 persen kehilangan jam kerja diakibatkan adanya penutupan tempat kerja, sementara Amerika mengalami pembatasan terbesar," tutur Guy.
Tantangan utama ke depan saat negara-negara telah mengadopsi perangkat kebijakan dengan kecepatan dan jangkauan beragam, ada beberapa tantangan yang harus diadopi.
Di antaranya menemukan keseimbangan yang tepat dan mengurutkan intervensi kesehatan, ekonomi dan sosial serta kebijakan untuk menghasilkan keluaran pasar kerja yang optimal dan berkelanjutan.
Kemudian, menerapkan dan melanjutkan intervensi kebijakan di skala yang penting saat sumber daya semakin terbatas.
"Melindungi dan mempromosikan kondisi kelompok-kelompok rentan, kurang beruntung dan paling terkena dampak untuk membuat pasar kerja yang lebih adil dan setara," urainya Guy lagi.
Baca: Menaker Ingatkan Pengusaha Utamakan Perlindungan bagi Pekerja Perempuan
Dia juga menuturkan penting memastikan solidaritas dan dukungan internasional, terutama untuk negara-negara baru dan berkembang.
"Memperkuat dialog sosial dan menjunjung hak," tuntasnya.