Redenominasi Rupiah Justru Membahayakan, Bisa Bikin Salah Paham dan Lonjakan Harga
Dikhawatirkan kejadian 50 tahun lebih yang lalu kembali terulang saat diberlakukan kebijakan redenominasi rupiah.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan redenominasi rupiah dinilai sebaiknya tidak dilakukan sekarang ketika pandemi Covid-19 karena bisa menimbulkan salah paham.
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, dikhawatirkan kejadian 50 tahun lebih yang lalu kembali terulang saat diberlakukan kebijakan redenominasi rupiah.
"Orang takut pemotongan uang seperti tahun 1965. Orang yang paham akan pilih beli barang, jadi inflasi dan kenaikan harga barang karena pembulatan akan tinggi," ujarnya kepada Tribunnews, Kamis (9/7/2020).
Selain itu, Hans menyampaikan, masyarakat saat itu begitu trauma dengan melonjaknya inflasi, sehingga belum bisa menerima jika itu berlaku lagi.
Baca: BPS Catat Inflasi 0,18 Persen, Tertinggi di Kendari
"Orang tua suka cerita tahun 1965, mereka yang mengalami masih ada, tetapi udah sangat berumur. Kalau pemotongan uang kan harga barang naik, jadi mereka borong barang," katanya.
Baca: Rupiah Hari Ini, 9 Juli 2020 Menguat ke Rp 14.446 per Dolar AS, Berikut Kurs 5 Bank di Indonesia
Karena itulah, ini yang dimaksud ketakutan akan terjadi salah paham soal kebijakan redenominasi dari sisi psikologi masyarakat.
"Kalau harga barang Rp 50.000, dulu kalau naik bisa saja jadi Rp 50.500, kalau sudah hilang nolnya cenderung naiknya Rp 50 ke Rp 51. Jadi, ada efek kenaikan ini, lalu psikologi orang terkait kenaikan harga, kalau dulu Rp 50.000 rasanya tinggi kalau jadi Rp 50 terasa murah, orang belanja lebih banyak dan harga bisa naik," pungkasnya.