Juni 2020, Neraca Perdagangan RI Surplus
BPS mencatat nilai neraca perdagangan Indonesia Juni 2020 mengalami surplus 1,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS)
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai neraca perdagangan Indonesia Juni 2020 mengalami surplus 1,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekira Rp 17,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per dolar AS).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, hal itu disebabkan oleh surplusnya sektor nonmigas 1,3 miliar dolar AS, walaupun sektor migas defisit 95,2 juta dolar AS.
Sementara itu, nilai ekspor Indonesia Juni 2020 mencapai 12,03 miliar dolar AS atau meningkat 15,09 persen dibanding ekspor Mei 2020.
"Demikian juga dibanding Juni 2019 meningkat 2,28 persen," ujarnya, Rabu (15/7/2020).
Suhariyanto menjelaskan, kinerja pertumbuhan ekspor Juni cukup cemerlang lantaran hampir semua sektor mengalami pertumbuhan.
Ia memberi contoh, ekspor pertanian yang realisasinya meningkat 18,99 persen, industri pengilajhan meningkat 15,96 persen, dan pertambangan naik 13,69 persen jika dibandingkan posisi Mei 2020 lalu.
Lebih rinci dijelaskan, kinerja ekspor ditopang oleh ekspor minyak dan gas (migas) mencapai 580 juta dolar AS miliar atau naik 3,8 persen dari bulan sebelumnya. Sementara ekspor nonmigas sebesar 11,45 miliar dollar AS atau meningkat 15,73 persen.
Peningkatan nilai ekspor migas terjadi karena harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik 42,9 persen menjadi 36,6 per dollar AS barel pada Juni 2020. Begitu juga harga beberapa komoditas ekspor nonmigas.
"Ada beberapa komoditas yang mengalami peningkatan harga seperti minyak sawit, karet, kernel, tapi batu bara turun tipis," katanya.
Dari sisi impor, pertumbuhan ditopang oleh impor non migas yang mencapai 10 miliar dolar AS atau tumbuh 29,64 persen.
Sementara untuk impor migas realisasinya sebesar 680 juta dollar AS atau tumbuh 2,98 persen.
Peningkatan impor nonmigas berasal dari barang konsumsi mencapai 51,1 persen menjadi 1,41 miliar dolar AS.
Suhariyanto menjelaskan, komoditas dengan impor cukup tinggi adalah bawang putih dari China, daging beku dari Australia, obat-obatan dari Inggris, dan buah pir dari China.
Kemudian, impor barang baku/penolong bauk 24,01 persen menjadi 7,58 miliar dolar AS.
Peningkatan terjadi di komoditas emas dari Singapura, gula mentah dari Thailand, dan bijih besi dari Australia.
Lalu, impor barang modal meningkat 27,35 persen menjadi 1,77 miliar dollar AS. Peningkatan dari impor laptop dari China dan mesin dari Jerman.
Secara struktur, impor didominasi oleh barang baku/penolong mencapai 70,39 persen dari total impor.