INDEF: UU Minerba Sudah Direvisi, Pertumbuhan Sektor Tambang dan Penggalian Masih Rendah
Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ke PDB dalam enam tahun terakhir masih belum maksimal terhadap perekonomian Indonesia.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan UU Minerba yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR belum memberi dampak positif.
Menurutnya, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ke PDB dalam enam tahun terakhir masih belum maksimal terhadap perekonomian Indonesia.
"Kalau kita lihat secara umum dari 2014 sampai semester I 2020 kinerja sektor pertambangan dan penggalian memang fluktuatif," kata Abra dalam diskusi publik virtual soal minerba yang digelar BEM IPB, Kamis (20/8/2020).
"Walaupun UU Minerba sudah disahkan di awal tahun tetapi pertumbuhannya masih rendah, bahkan kuartal kedua itu minus 2,7 persen. Ini memang ada pengaruh dari pandemi dan harga komoditas global," tambahnya.
Baca: Senator DPD Ali Ridho Azhari Kritisi UU Minerba
Namun, menariknya sub sektor pertambangan bijih logam justru di semester pertama meningkat pesat yakni kuartal I 9 persen dan kuartal II 31 persen.
Baca: Busyro Muqoddas Sebut Pemerintah dan DPR Curi Momentum Covid-19 Untuk Sahkan UU Minerba
Artinya, jelas Abra, ternyata komoditas bijih logam masih menjadi primadona bagi investor. "Ini juga karena adanya momentum pemerintah telah melakukan larangan ekspor bijih logam," ucapnya.
Abra menegaskan kontribusi sektor pertambangan dan sub sektor pertambangan secara keseluruhan terhadap PDB negara mengalami tren menurun.
Dia menilai atas dasar ini juga pemerintah harus merevisi UU Minerba yang pasca reformasi berkontribusi.
"Melihat kinerja iklim investasi dan iklim industri pertambangan belum bergairah. Pemerintah merasa sepertinya merasa perlu merevisi UU Minerba," tuturnya.
Di sisi lain, Indef menyayangkan cadangan batubara sebagai komoditas ekspor terbesar dilakukan secara jor-joran.
Abra khawatir terjadi kerentanan terhadap ketersedian bahan baku untuk jangka panjang.
"Cadangan kita nggak terlalu besar tapi produksi sama ekspor kita termasuk terbesar. Kalau kita bandingkan tahun 2018 dengan jumlah cadangan 3,5 juta, ekspor kita justru tertinggi kedua dibandingkan Australia. Jadi di saat Amerika atau China punya cadangan lebih besar dari kita tapi peranan ekspor mereka hanya 1 persen," pungkasnya.