Indonesia Jangan Mau Didikte WTO
Kepentingan nasional dan perlindungan terhadap petani harus tetap menjadi hal yang utama dan dipertahankan
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengingatkan pemerintah jangan terlalu longgar berlakukan ketentuan impor terkait produk pertanian.
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan itu mendesak pemerintah jangan mau didikte WTO dalam menetapkan aturan impor pangan yang akan dicantumkan dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja.
Menurutnya, kepentingan nasional dan perlindungan terhadap petani harus tetap menjadi hal yang utama dan dipertahankan.
Baca: Prediksi WTO: Perdagangan Global Tahun Ini Turun 32 Persen karena Corona
"Kebijakan politik kita tetap harus mendahulukan pangan dalam negeri dan menjadikan impor pangan sebagai komplementer. Impor dilakukan hanya jika kita kekurangan produksi dalam negeri," ujar Mulyanto kepada wartawan, Jumat (4/9/2020)
Mulyanto menambahkan liberalisasi perdagangan jangan sampai menggilas nasib petani.
Sebab sekali petani frustasi dan tidak mau menanam maka selamanya bangsa ini akan jadi pengimpor semua produk pertanian.
"Ini menjadi perhatian serius PKS, karena pada pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang mengubah, menghapus dan menambahkan norma terkait dengan UU Pangan baik UU Hortikultura, UU Peternakan, UU Budidaya Pertanian, UU Pemberdayaan Petani, dll terlalu longgar dan adaptif terhadap tekanan WTO, khususnya terkait dengan soal impor pangan.
Baca: Pemerintah Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO Terkait Kelapa Sawit
PKS mengupayakan, agar isi ketentuan RUU Omnibus Law ini tetap mengedepankan kedaulatan pangan bangsa Indonesia dan mengamankan produk pertanian lokal.
Yang ujungnya juga akan berdampak pada kesejahteraan petani kita," ucap Mulyanto.
Sebelumnya, panel WTO memutuskan, bahwa Indonesia telah melanggar aturan GATT 1994, yakni larangan penggunaan pembatasan dan pelarangan ekspor ataupun impor berdasarkan gugatan Amerika dan Selandia Baru.
Hal ini dibuktikan panel secara eksplisit. Menurut mereka pelarangan tersebut ada dalam undang-undang dan peraturan turunannya.
Untuk itu Indonesia harus melakukan penyesuaian UU dimaksud dan peraturan turunannya dengan pengaturan WTO.
Baca: Ekspor Sawit Dihambat, Pemerintah RI Gugat Uni Eropa di WTO
Bila tidak, maka diperkirakan pihak Amerika akan menggugat (retaliasi) dengan nilai kerugian diperkirakan sebesar Rp.10 triliun/tahun.