Indonesia Deflasi 3 Bulan Berturut-turut, Sinyal Bahaya untuk Pemerintah
Suhariyanto mengatakan, terjadinya lagi deflasi pada September 2020 membuat Indonesia mengalami hal tersebut 3 bulan berturut-turut.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pergerakan tingkat inflasi dari
bulan ke bulan (month to month/mtm) selama tahun 2020 digambarkan melalui garis berwarna merah dengan kembali terjadinya deflasi pada September.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, terjadinya lagi deflasi pada September 2020 membuat
Indonesia mengalami hal tersebut 3 bulan berturut-turut.
"Berarti terjadi deflasi berturut-turut selama 3 bulan. Jadi, selama kuartal III 2020 pada Juli, Agustus, dan September terjadi deflasi," ujarnya saat konferensi pers virtual, Kamis (1/10/2020).
Deflasi merupakan fenomena ekonomi yang memiliki dampak yang luar biasa bagi perekonomian manusia, baik yang bersifat positif atau negatif.
Tren deflasi menunjukkan penurunan harga suatu barang atau jasa terus menurun dalam kurun waktu yang relatif singkat. Turunnya harga suatu barang atau jasa berimbas pada sektor lain seperti menurunnya upah pekerja.
Suhariyanto merincikan, deflasi pada Juli sebesar 0,1 persen, Agustus 0,05 persen, dan September kembali terjadi deflasi sebesar 0,05 persen.
"Untuk inflasi tahunannya bisa dilihat bahwa pada September itu adalah sebesar 1,42 persen. Sedikit
mengalami kenaikan dibandingkan posisi Agustus yang inflasi sebesar 1,32 persen," katanya.
Namun jika dibandingkan dengan posisi Juli awal kuartal III 2020 maka inflasi September yang sebesar 1,42 persen ini lebih rendah.
Dia menambahkan, jika dilihat menurut kelompok pengeluaran, ada empat kelompok yang mengalami deflasi dari catatan BPS.
Pertama adalah makanan minuman dan tembakau yang mengalami deflasi 0,37 persen, lalu kelompok pengeluaran pakaian dan alas kaki juga terjadi deflasi meskipun tipis 0,01 persen.
Sektor transportasi mengalami deflasi sebesar 0,33 persen dan kelompok pengeluaran untuk informasi komunikasi dan jasa keuangan juga mengalami deflasi 0,01 persen.
Suhariyanto mengatakan, deflasi berturut-turut juga pernah terjadi pada tahun 1999.
Pada waktu itu terjadi deflasi mulai bulan Maret sampai September, sehingga pada tahun 1999 terjadi deflasi berturut-turut selama 7 bulan.
"Pada Juli hingga September 2020 ini juga telah terjadi deflasi berturut-turut 3 bulan," ujarnya.
Baca: Deflasi Berturut-turut Indikasi Ekonomi Belum Pulih, Rupiah Berpotensi Tertekan
Kemudian, lanjut dia, inflasi inti yang 1,86 persen secara tahunan atau year on year (yoy) juga menjadi terendah sejak pertama kali dihitung pada 2004.
Suhariyanto menjelaskan, BPS bersama Bank Indonesia pertama kali menghitung angka inflasi inti
itu pada 16 tahun yang lalu.
Baca: Indonesia Alami Deflasi Berturut-turut, BPS: Seperti pada 1999
"Inflasi inti 1,86 persen pada September 2020 ini adalah terendah sejak 2004. Waktu itu, ketika pertama kali kita menghitung inflasi inti," katanya.
Harus Diwaspadai
Dia menilai deflasi berturut-turut ini merupakan tanda bahaya, sehingga harus diwaspadai dari sisi permintaan masyarakat.
Sebab, deflasi sebesar 0,05 persen pada September 2020 kalau dilihat dari sisi pasokan itu cukup, namun ada penurunan berbagai harga komoditas.
Kewaspadaan juga harus dilihat dari inflasi inti yang terus menurun sejak bulan Maret 2020 karena daya beli masyarakat jatuh.
"Jadi, sudah terlihat bahwa inflasi intinya adalah sebesar 1,86 persen itu rendah. Menunjukkan
memang daya beli kita masih sangat sangat lemah," kata Suhariyanto.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu Nathan hanya menyampaikan kondisi deflasi tiga bulan berturut-turut menunjukkan jumlah permintaan belum tumbuh optimal.
Menurutnya, jumlah permintaan belum bertumbuh seperti yang diharapkan sebab pertumbuhan ekonomi masih berada di jalur negatif.
“Tentunya ini menjadi sinyal bagi pemerintah, interpretasinya bahwa sisi permintaan masih belum pulih. Sepanjang pertumbuhan ekonomi masih negatif, biasanya inflasi akan rendah dan dalam konteks ini tiga bulan berturut turut terjadi deflasi,” kata Febrio.
Dalam hal stimulus fiskal, Kemenkeu sudah memberikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 203,9 triliun di program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020.
Sampai dengan 28 September 2020 realisasinya mencapai Rp 150,86 triliun setara 73,84% dari total pagu.
Seiring berkembangnya dampak pandemi, program perlindungan sosial yang bertujuan untuk menjaga demand masyarakat mengalami perubahan.
Pada akhir Agustus lalu pemerintah meluncurkan program subsidi gaji karyawan dan bantuan produktif untuk usaha mikro.
Sayangnya, program baru tersebut belum terespons oleh ekonomi dalam negeri, yang tercermin pada deflasi September sebesar 0,05%.
Febrio mengatakan hal ini menjadi tanda bagi pemerintah bahwa permintaan harus meningkatkan sisi permintaan. Namun memang sayangnya pemerintah belum punya ide baru.
Yang jelas, otoritas fiskal tetap berusaha untuk memaksimalkan penyaluran anggaran dari program-program perlindungan sosial yang sudah ada, meski belum tentu ampuh.
“Jadi masih harus kami pastikan seperti perlinsos masih lanjut terus sampai akhir tahun dan sudah lumayan on schedule. Setiap bulan ada disbursement,” kata Febrio. (Tribun
Network/van/ktn/wly)