Jadi Kontroversi dan Memicu Aksi Demonstrasi Buruh, Apa Itu RUU Cipta Kerja?
RUU Cipta Kerja adalah bagian dari Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
Dalam rapat tersebut sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.
Baca: YLBHI Soroti Peluang Korupsi dalam RUU Cipta Kerja
Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, KSPI: Mogok Kerja Dilakukan di Lingkungan Perusahaan
Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.
Pembahasan RUU Cipta Kerja memicu kontroversi. Meski dirundung penolakan dan demo besar-besaran serikat buruh di berbagai daerah, pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU Cipta Kerja.
Lalu apa itu RUU Cipta Kerja?
RUU Cipta Kerja adalah bagian dari Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain: RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja.
Pemerintah dan DPR kejar tayang
Pemerintah dan DPR juga dianggap kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat investor asing menanamkan modal di Tanah Air sehingga bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja. Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah.
Lalu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu. Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.