Penyederhanaan Cukai Dikhawatirkan Merusak Struktur Industri Hasil Tembakau
Sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut bakal merusak struktur Industri Hasil Tembakau (IHT) bahkan monopoli perdagangan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berencana melakukan penyederhanaan tarif cukai.
Namun sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut bakal merusak struktur Industri Hasil Tembakau (IHT) bahkan monopoli perdagangan.
Forum for Socio Economic Studies (FOSES) dalam penelitian yang dipublikasikan pada Rabu (29/9/2020) mengungkap bahwa adanya penyederhanaan struktur tarif cukai ini hanya akan mencederai struktur cukai yang saat ini telah menaungi secara adil seluruh pelaku IHT dan mata rantai di dalamnya.
Hal ini akan berdampak luas kepada kelangsungan industri maupun penghidupan seluruh pihak yang terkait dengan industri ini.
Bupati Temanggung Al Khadziq menyatakan, pihaknya berharap pemerintah pusat bisa menguatkan komitmen untuk membantu kelangsungan hidup para petani tembakau.
Baca: Pengusaha Minta Cukai SKT Jangan Naik Dulu, Petani Tembakau Jadi Taruhan
Dia bilang, di Temanggung saat ini harga jual semakin anjlok, selain dari cuaca yang kurang mendukung, kami melihat pabrikan enggan menyerap.
Kata Al Khadziq alasannya karena cukai naik, penjualan mereka lantas turun. Kuota pembelian pabrikan menurun sampai 15%-20%.
“Di lapangan, dampaknya hasil panen menumpuk di rumah petani, tidak terbeli. Kami sangat berharap, pemerintah bisa melindungi daerah-daerah seperti Temanggung, yang setengah penduduknya bergantung pada tembakau. Kami harap kenaikan cukai tidak tinggi-tinggi karena sudah terbukti menurunkan kesejahteraan petani," kata Bupati Temanggung seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji mengungkapkan kondisi terkini serapan tembakau dari pabrik rokok sejak pandemi.
APTI meminta agar kenaikan cukai ditunda dengan mempertimbangkan dampaknya kepada petani tembakau.
“Kami juga meminta kebijaksanaan pemerintah dalam menyusun regulasi terkait IHT termasuk RPJMN 2020-2024. Terlebih lagi di masa pandemi yang kian berdampak pada kelambatan serapan komoditas oleh pabrikan dan harga yang anjlok,” ujar Agus.
Di sisi lain, Agus menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda penyederhanaan tarif cukai.
“Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu, kan, terbagi besar menengah, kecil. Keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. Makin besar kompetisi, kami (hasil tani) makin banyak dicari,” kata dia.
Adapun FOSES dalam penelitian yang dilakukannya turut mendukung sikap berkeberatan yang ditunjukan oleh kepala daerah maupun asosiasi petani.
FOSES meninjau aspek ekonomi dan hukum atas dampak kebijakan penyederhanaan tarif cukai terhadap struktur pasar industri tembakau, serta mengukur dampak kebijakan cukai terhadap heterogenitas pasar.
Ketua tim riset FOSES Putra Perdanamenyampaikan sejumlah temuannya pokoknya, yaitu:
1. Struktur pasar IHT bersifat oligopoli ketat. Saat ini terdapat empat pemain besar yang menguasai pasar rokok di Indonesia yang hanya menyisakan 17,2% pangsa pasar untuk pemain di tingkat kecil-menengah.
2. Kenaikan cukai mempengaruhi harga dan hilangnya varian brandrokok. Kenaikan cukai rokok jenis SKM dapat menghilangkan sekitar enam varian brand di pasar. Sedangkan untuk rokok jenis SPM, kenaikan cukai sebesar 8,3 kali lipat akan menghilangkan satu varian brand. Pada jenis rokok SPT, kenaikan harga transaksi pasar karena kenaikan CHT dan HJE sebesar 1,56 kali lipat, membuat hilangnya satu brand pada golongan 2 dan 3.
3. Adanya penyamaan tariff cukai SKM ke golongan SPM menyebabkan tekanan terutama setelah penyetaraan cukai pada masing-masing golongan.
Cukai pada SKM golongan 1 menekan volume rokok sebesar 1,29%, setelah penyetaraan berubah menjadi 5,44%, sedangkan pada SKM golongan 2 cukai menyebabkan penurunan volume rokok sebesar 3,27% setelah sebelumnya hanya menekan volume sebesar 2,75%.
4. Penggabungan SPM dan SKM menyebabkan tekanan terhadap volume rokok. Penggabungan SKM dan SPM ke SM pada golongan 1 dengan batas produksi 3 miliar menyebabkan perusahaan langsung berkompetisi dengan perusahaan yang sudah mapan pada golongan tersebut.
Simulasi pada satu perusahaan yang beraktivitaspada golongan 2 SKM dan SPM menunjukkan adanya potensi penurunan volume hingga 45,66