INDEF: Regulasi Riset dan Teknologi di UU Cipta Kerja Banyak Untungkan Asing
INDEF tidak melihat adanya kemudahan dalam melakukan riset dan inovasi dalam regulasi yang dibuat Pemerintah dan DPR di Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Penulis: Lita Febriani
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, training dan edukasi menjadi kendala utama dalam riset dan inovasi untuk dengan percepatan ke industri 4.0 atau ekonomi digital.
Sayangnya, ia tidak melihat adanya kemudahan dalam melakukan riset dan inovasi dalam regulasi yang dibuat Pemerintah dan DPR di Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Jadi kita pengen agar anak-anak bangsa ini lebih cepat melakukan penelitian dan inovasi, sehingga banyak startup yang berkualitas bisa menyerap tenaga kerja banyak, kemudian bisa mempercepat transformasi ekonomi digital."
"Sayangnya, ekosistem itu yang harusnya dibahas dalam regulasi ternyata tidak," tutur Bhima dalam Diskusi Online "Apa Kabar Riset dan Inovasi dalam Omnibus Law, Kamis (5/11/2020).
Mahal dan buruknya koneksi internet juga menjadi kendala dalam transformasi digital.
Baca juga: Indonesia Resesi, Ekonom Indef Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Negatif hingga Kuartal IV
Berdasarkan data yang diungkap Indef, selama pandemi Covid-19, kecepatan internet Indonesia menurun sebesar 4,4 persen dibanding negara ASEAN lainnya.
"Sudah lambat, tapi mahal. Ini juga harusnya dibahas dalam peraturan seperti Omnibus Law untuk mendukung ekosistem yang lebih baik. Tentunya Ini membutuhkan infrastruktur internet yang lebih bagus, tetapi itu tidak secara spesifik dibahas," jelas Bhima.
Baca juga: Diteken Jokowi, Ekonom INDEF Soroti Pasal 158 dalam UU Cipta Kerja
Permasalahan lain yang tidak di bahas dalam Undang-undang Cipta Kerja ialah perizinan berusaha.
Di dalam cluster UMKM Omnibus Law Cipta Kerja. Perizinan berusaha dimudahkan bagi pelaku UMKM untuk mendaftarkan izin, khususnya pengusaha mikro hanya perlu satu orang untuk membuat Perseroan Terbatas atau PT.
"Tapi kalau kita melihat yang disebut sebagai inovasi atau usaha yang berbasis digital, ternyata aturan itu belum menjawab masalah utamanya bagi startup," terang Bhima.
Misalnya ketika ada anak muda yang membuat inovasi terkait dengan finansial teknologi, seperti Peer to Peer Landing. Mereka tidak hanya berurusan dengan OJK, tetapi juga harus masuk dalam ekosistem regulasi yang rumit.
"Ada sekira 14 kementerian dan lembaga yang memiliki irisan dengan finansial teknologi. Itu baru satu jenis, belum lagi kita bicara soal e-commerce, belum lagi kita bicara soal transportasi online. Ekosistem regulasi ini harus diperbaiki. Kenapa nggak dibikin satu atap misalnya perizinannya," ujarnya.
Masalah selanjutnya yang tidak spesifik dijelaskan dalam UU Cipta Kerja ialah mengenai penelitian dan pengembangan bagi UMKM.
Menurut Bhima, di undang-undang sebelumnya itu hanya mempermudah pemanfaatan informasi dan pembiayaan, kalau di UU Cipta Kerja disebutkan secara spesifik terkait dengan penelitian dan pengembangan.
Tetapi yang menjadi pertanyaan, selama ini tidak ada aturan berbentuk undang-undang untuk memudahkan UMKM mendapatkan penelitian dan pengembangan produknya, serta akses pasar yang lebih baik.
"Yang jadi permasalahan, selama ini banyak UMKM yang kebingungan. Pertama untuk hal-hal yang sangat mendasar, misalnya kalau ada UMKM yang berada di Jakarta mau mengirimkan barang ke Semarang. Tapi mereka ngga tau bagaimana tren yang ada di Semarang, kemudian bagaimana pola konsumsinya, bagaimana cara mengembangkan produknya, kemasannya segala macam. Sebagian besar penelitian dan pengembangan ini masih sulit untuk diakses oleh UMKM. Sementara yang dilakukan pemerintah masih sebatas pendampingan yang itu sifatnya sangat teknis belum sampai ke penelitian-penelitian yang lebih serius," jelasnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, kalau pun ada penelitian tentang pengembangan UMKM, lebih ke penelitian yang sifatnya ke makro, seperti jumlah UMKM, jumlah tenaga kerjanya, berapa yang masuk ke dalam skala mikro, ultra mikro, mana yang masuk dalam skala kecil, menengah.
Tetapi belum ada secara spesifik semacam pusat data penelitian UMKM yang itu bisa diakses secara luas oleh seluruh pelaku UMKM yang jumlahnya sekitar 50 juta - 60 juta.
Kemudian ada lagi terkait bantuan penelitian dan pengembangan dalam Undang-undang Cipta Kerja, wajib memberikan fasilitas untuk digitalisasi, yang artinya ada sarana bagi UMKM untuk dibantu digitalisasinya.
Akan tetapi tidak dijelaskan secara spesifik dalam undang-undang, sehingga belum diketahui bagaimana spesifiknya.
"Bagaimana peraturan turunannya terkait bantuan digitalisasi karena tidak disebutkan. Misalnya bagaimana menyelesaikan masalah akses internet yang lebih merata, kemudian biaya logistik yang masih 23,5 persen dari PDB. Ini apakah dibantu dan pemerintah, seperti berkomitmen menurunkan biaya logistik. Ini tidak disebutkan secara detail," ungkap Bhima.
Bhima juga menyoroti pengembangan Sumber Daya Manusia dalam mendukung riset dan inovasi.
Ia melihat ekosistem digital, khususnya startup yang ada di Indonesia kebanyakan penanam modalnya terafiliasi oleh modal asing.
Ketika modalnya berasal dari pihak asing, produk-produknya pun akan didominasi oleh barang-barang impor.
Menurut Ekonom Indef ini, di dalam Undang-undang Cipta Kerja ternyata ditambahkan juga liberalisasi dari ekosistem digital, pada pasal 42 ayat 3.
Tenaga Kerja asing khususnya yang di bidang startup boleh di datangkan tanpa menggunakan izin.
Hal ini akan berdampak pada Sumber Daya Manusia (SDM) atau peneliti yang ada di Indonesia, mereka yang masuk ke dalam startup ini pastinya sedikit-sedikit akan digantikan oleh tenaga kerja asing dengan berbagai alasan.
"Padahal kita inginnya startup ini jadi ekosistem yang pro untuk menyerap tenaga kerja, akademisi dalam negeri untuk menjadi konsultan atau peneliti di perusahaan startup. Tapi dengan adanya pasal 42 ini, sudah over liberal saya kira, sehingga akan merugikan tenaga kerja Indonesia yang bekerja dalam perusahaan-perusahaan startup," terangnya.
Lebih lanjut, menurut Bhima tenaga kerja asing, mereka bisa melakukan riset antar negara misalnya tanpa pertemuan secara fisik, dengan webinar atau teleconference, jadi tidak memasukkan tenaga kerja asing.
"Jadi banyak kontradiktif yang ada di Undang-undang Cipta Kerja. Ingin mewujudkan ekosistem yang inovatif, yang lebih baik, tetapi terkesan ini tidak menguntungkan kepentingan nasional. Justru memberikan banyak tempat bagi kepentingan investor asing," ungkap Bhima.