Indonesia Pinjam 1,5 Miliar Dolar ke Australia untuk Tangani Pandemi Covid 19
Sri Mulyani mengatakan, pinjaman tersebut dengan masa pembayaran kembali selama 15 tahun yang merupakan wujud kerja sama strategis
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan didapatkannya utang luar negeri baru dari Australia kepada Indonesia sebesar 1,5 miliar dolar Australia.
Sri Mulyani mengatakan, pinjaman luar negeri tersebut dengan masa pembayaran kembali selama 15 tahun yang merupakan wujud kerja sama strategis, komprehensif serta kemitraan kuat antara Australia dan Indonesia.
Pinjaman ini ditujukan untuk mendukung Program Covid-19 Active Response and Expenditure Support (CARES) yang dikoordinasikan oleh Asian Development Bank
(ADB).
"Covid-19 memberikan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada wilayah Indo Pasifik dan dunia."
"Australia dan Indonesia juga sangat terpengaruh oleh krisis kesehatan yang luar biasa ini, di mana tindakan pengendalian dan ketidakpastian telah menurunkan pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan internasional," ujar Sri Mulyani melalui keterangan resmi, Kamis (12/11/2020).
Baca juga: Satu Tahun Jokowi-Maruf, Utang Luar Negeri Menggelembung Jadi 402 Miliar Dolar AS
Utang tersebut akan digunakan untuk mendukung pembiayaan anggaran tahun 2020 yang
fokus pada pengendalian Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Selain itu, utang ini juga mencerminkan semangat dari kedua negara untuk secara
bersama-sama menangani tantangan pandemi Covid-19 yang luar biasa, baik dalam
melindungi masyarakat maupun membantu dunia usaha.
Baca juga: 1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf: Berapa Banyak Utang Luar Negeri RI Bertambah?
Sebagai tetangga dekat, lanjut Sri Mulyani, kedua negara saling membutuhkan dalam
menghadapi ancaman pandemi Covid-19, serta perlu saling mendukung satu sama
lainnya dalam masa yang sulit ini.
Menurut dia, Australia dan Indonesia akan terus melanjutkan kerja sama serta saling berbagi pengalaman untuk bersama-sama melangkah menuju pemulihan ekonomi.
“Kemitraan ini tidak hanya menunjukkan kuatnya hubungan antara Australia dan Indonesia, tetapi juga pemahaman sebagai negara tetangga."
"Kita mempunyai tujuan yang sama untuk pemulihan dan penguatan ekonomi, dan bahwa kita tidak bisa pulih sendirian di tengah pandemi Covid-19,” kata Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan menyatakan, terus menjaga transparansi keuangan negara,
termasuk membuka besaran utang Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pihaknya tidak menutupi besaran utang, namun untuk rinciannya tidak dijelaskan karena berisiko dipolitisasi.
"Kalau transparansi publik, kita akan jaga terus karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Mungkin saya melihat dinamika di masyarakat itu melihatnya sepotong-sepotong, sehingga menimbulkan isu politik yang terlalu dipolitisasi kepada satu arah," ujarnya.
Bendahara negara menyebut ada saja pihak yang memang sengaja membuat informasi
utang negara dari satu segmen saja, sehingga menimbulkan disinfomasi.
"Jadi, kami juga melihat lho ini kita memberikan informasi yang banyak, tapi kemudian malah
digoreng-goreng. Gitu lho," kata Sri Mulyani.
Dia menambahkan, dirinya siap jika ada yang mau berdebat terkait utang asal sesuai substansi.
"Kalau debatnya sehat, kami tidak masalah, tapi masyarakat kadang membuatnya secara tidak sehat," pungkasnya.
Di kesempatan sama, Menteri Keuangan Australia Frydenberg menggarisbawahi bahwa Australia berkeyakinan Indonesia dapat menangani pandemi Covid-19 dengan baik.
Kemudian, dapat melakukan pemulihan ekonomi yang cepat dan kuat, antara lain didukung oleh manajemen fiskal yang hati-hati.
“Indonesia dan Australia menghadapi pandemi Covid-19 ini sebagai mitra. Sebagai mitra, kami akan pulih bersama. Dalam semangat kemitraan inilah, Australia dan Indonesia menandatangani pinjaman sebesar 1,5 miliar dolar Australia," ujar Frydenberg.
Menguat
Sementara, Bank Indonesia (BI) menyatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat (AS) perlahan menguat dengan berbagai kebijakan dan stabilisasi yang terus
dilakukan.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, nilai tukar rupiah sekarang bergerak stabil dan cenderung menguat dibanding awal pandemi corona atau Covid-19.
"Kalau dilihat yang paling rendah itu adalah puncaknya di tengah pandemi
Covid-19 saat kepanikan global pada 23 Maret 2020, waktu itu rupiah mencatat Rp
16.575 per dolar AS," ujarnya.
Kemudian, Perry menjelaskan, pelan tapi pasti rupiah terus menguat dari sejak Maret
hingga November sekira 17,8 persen, meski secara tahun kalender masih melemah 1,2
persen.
"Sejak (Maret) itu menguat secara signifikan sekira 17,8 persen, sehingga kalau
kita lihat year to date (tahun kalender), nilai tukar itu melemah sekira 1,2 persen,"
katanya.
Di sisi lain, cadangan devisa pada Oktober 2020 meningkat jadi 133,7 miliar dolar AS
dibanding kuartal II 2020 sebesar 131,7 miliar dolar AS untuk menopang stabilisasi nilai
tukar.
Perry memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini berada di level rendah
yakni di bawah 1,5 persen dan tahun depan di kisaran 1,5 persen.
"Tahun depan itu kurang lebih sekira 1,5 persen, sehingga secara keseluruhan
mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia," ujarnya.
Perry juga menyebut beberapa indikator premi risiko seperti The Volatility Index (VIX)
maupun Credit Default Swap (CDS) menurun, terutama di bulan November 2020
setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) di Amerika Serikat (AS).
Ia mengatakan, ketidakpastian di pasar keuangan global juga mulai menurun, meskipun masih tetap tinggi.
"Hal ini karena berbagai faktor faktor geopolitik maupun risiko untuk second wave atau
gelombang kedua pandemi Covid-19," ujarnya.
Perry menjelaskan, hasil Pilpres AS dengan Joe Biden sebagai Presiden terpilih
membuat aliran modal asing masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Pilpres AS ini juga membawa beberapa perbaikan dan berkaitan dengan aliran portofolio asing ke emerging market, maupun juga harga obligasi dan harga saham," katanya.
Kemudian, dampak Pilpres AS terasa sampai ke pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah menyentuh Rp 14.000 per dolar AS.
"Tekanan-tekanan terhadap nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sedikit mereda meskipun memang ketidakpastiannya berlanjut," pungkas Perry.(Tribun
Network/van/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.