Tolak RUU Larangan Minuman Beralkohol, APIDMI: Tidak Punya Urgensi yang Jelas
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APIDMI Ipung Nimpuno mengatakan RUU Larangan Minol tidak punya urgency yang jelas.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (APIDMI) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APIDMI Ipung Nimpuno mengatakan RUU Larangan Minol tidak punya urgency yang jelas.
Baca juga: Pejabat Kemenperin Tidak Setuju Larangan Total Minuman Beralkohol, Ini Sebabnya
Dalam hal pengendalian konsumsi misalnya, tingkat konsumsi minuman beralkohol di Indonesia hanya sekitar 0,2% dari total populasi atau sama sekitar satu mili liter per orang.
Baca juga: RUU Larangan Minuman Beralkohol, Penjual Bisa Dipidana 10 Tahun, Ini Jenis dan Ketentuannya
Menurut Ipung, jumlah itu masih sangat kecil bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi minuman beralkohol di negara-negara Asia Tenggara yang mencapai sekitar 1% dari total populasi.
Industri minuman beralkohol juga menyerap banyak tenaga kerja. Ipung bilang dari hulu ke hilir ada ratusan ribu tenaga kerja, belum termasuk petani yang memasok bahan baku minuman beralkohol. Khususnya minuman keras khas lokal seperti Brem Bali dan Cap Tikus.
Dari sisi kesehatan, kata Ipung jauh minuman beralkohol sebetulnya tidak ada masalah. World Health Organization (WHO) pun tidak melarang, tapi mengimbau untuk membatasi konsumsi. Berbeda dengan rokok yang teruji klinis dalam setiap kandungan batangnya berdampak buruk bagi kesehatan
Ipung bilang, parlemen seharusnya menyoroti minuman beralkohol ilegal, sebab kandungannya menggunakan methanol yang jelas berbahaya bagi kesehatan. Bila RUU ini diundangkan, Ipung yakin minuman beralkohol oplosan akan semakin banyak beredar.
Sementara, minuman beralkohol legal tentu punya regulasi yang ketat, sebab pemerintah mengendalikan konsumsi dengan meletakan pita cukai. Dus, produksi minuman beralkohol pun dibatasi.
Ipung menyampaikan dalam hal regulasi, industri minuman beralkohol diatur oleh 36 peraturan pusat lintas kementerian dan ratusan peraturan daerah. Ini bertujuan agar masyarakat Indonesia tidak berlebihan mengonsumsi minuman beralkohol.
“Distribusi dan produksi ada yang atu Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal cuka, dan ratusan perda sudah sangat ketat mengatur minuman beralkohol Indonesia. Malaysia negara muslim sekali pun tidak melakukan pelarangan tapi pengaturan, termasuk Indonesia. Ini jadinya kebinekaan malah mau melarang, ini sebuah kemunduran,” kata Ipung kepada Kontan.co.id, Jumat (13/11).
Dia menambahkan, minuman beralkohol punya multiplier effect yang luar terhadap ekonomi nasional. Bila beleid itu diundangkan bisa mengakibatkan dampak negatif kepada industri pariwisata di Indonesia.
Terlebih, saat ini demand minuman beralkohol lagi turun akibat dampak pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Ipung mengaku sejak Maret hingga saat ini telah terjadi penurunan persentase penjualan lebih dari dua digit. Sebab, secara global maupun domestik permintaan turun.
Di sisi lain, kuota impor minuman beralkohol dibatasi oleh Kemendag. Padahal, asosiasi telah mengajukannya sejak Februari lalu, tapi baru diizinkan pada Oktober lalu. Kemudian distribusi sampai konsumsi butuh waktu dua bulan.
Sementara, pemesanan pita cukai tidak bisa dibatalkan dan hanya berlaku satu tahun. Alhasil, Ipung bilang industri minuman beralkohol bakal buntung di tahun ini.
“Jadi berbagai kebijakan sebelumnya tidak jelas, sangat membingungkan perusahaan. Lalu ditambah dengan RUU Larangan Minol. Ini sangat membunuh industri,” ujar Ipung.
Artikel Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul: APIDMI tolak RUU Larangan Minuman Beralkohol