Tahun Depan Tarif Cukai Naik 12,5 Persen, Harga Rokok Makin Mahal
Sri Mulyani menyebut keputusan menaikkan cukai rokok ini diambil dengan memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja di industri terkait
Editor: Hendra Gunawan
*Tahun Depan Cukai Rokok Naik 12,5 Persen
*Saham Perusahaan Rokok 'Terbakar'
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen. Kenaikan tersebut berlaku mulai 1 Februari 2021.
Sri Mulyani menyebut keputusan menaikkan cukai rokok ini diambil dengan memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja di industri terkait, petani tembakau, maupun industri itu sendiri.
"Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah sebesar 12,5 persen. Ini dihitung rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah produksi dari masing-masing jenis dan golongan," katanya pada konferensi pers secara daring, Kamis (10/12).
Adapun rincian kenaikan cukai rokok ini untuk CHT jenis Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1 naik 18,4 persen. SPM golongan 2A naik sebesar 16,5 persen. Lalu, untuk SPM golongan 2B naik 18,1 persen.
Baca juga: Cukai Rokok Naik di 2021, Pemerintah Berharap Jumlah Perokok Makin Sedikit
Kemudian untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I naik sebesar 16,9 persen. SKM golongan 2A naik 13,8 persen. Kemudian, SKM golongan 2B naik sebesar 15,4 persen.
Adapun untuk industri rokok padat karya yang mempekerjakan banyak buruh atau Sigaret Kretek Tangan tidak mengalami kenaikan.
"Sigaret kretek tangan cukai hasil tembakaunya tidak dinaikkan atau kenaikan 0 persen," imbuh Ani.
Dengan kenaikan cukai rokok ini, maka harga rokok di tahun 2021 nanti bisa lebih mahal mencapai 14%.
"Kenaikan CHT [Cukai Hasil Tembakau] ini akan menyebabkan rokok jadi lebih mahal atau naik menjadi 13,7-14% sehingga makin tidak dapat terbeli," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga mengakui dinaikkannya cukai rokok ini bakal dibarengi dengan risiko maraknya peredaran rokok ilegal.
Baca juga: JK: Orang Terkaya Indonesia Bisnisnya di Rokok, Bukan Teknologi Atau Energi Seperti di Negara Maju
Rokok ilegal yang dimaksudnya adalah rokok yang diproduksi dan diedarkan secara tidak legal dengan tidak membayar cukai.
”Semakin tinggi cukai, semakin kita naikkan, semakin mereka bersemangat menghasilkan rokok ilegal. Ini tantangan yang nyata,” kata Sri Mulyani.
Untuk itu, Sri Mulyani meminta semua pihak terkait tetap menindak siapa saja yang berhubungan dengan rokok ilegal. Ia tidak mau upaya menaikkan cukai rokok malah dilemahkan maraknya rokok ilegal.
”Saya akan tetap meminta jajaran bea dan cukai dengan kenaikan CHT ini tetap meningkatkan kewaspadaannya. Tetap dilakukan tindakan preventif dan tindakan represif seperti yang selama ini dilihat,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Ketika Mantan Wapres RI Jusuf Kalla Singgung Pengusaha Terkaya RI Berbisnis Rokok
Tindakan preventif yang dimaksud Sri Mulyani adalah dengan sosialisasi dan terus mengawasi peredaran rokok ilegal. Selain itu, mendirikan kawasan industri tembakau adalah langkah pencegahan yang dilakukan agar mudah dilokalisir dan diawasi.
Sementara itu langkah represif seperti melakukan operasi, patroli laut bea dan cukai, dan berbagai penindakan yang menggandeng aparat penegak, pemda, dan pihak terkait.
Brdasarkan catatannya, sepanjang 2020 Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan setidaknya menindak 8,155 peredaran rokok ilegal.
"Meskipun dalam suasana dan situasi pandemi yang mengancam semuanya, Bea dan Cukai tetap meningkatkan jumlah penindakan terhadap peredaran rokok illegal sebanyak 8.155 kali. Ini upaya yang sangat heroik," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan jumlah penindakan tersebut meningkat dibanding tahun 2019 sebanyak 5.774 kali. Sementara di tahun 2018 ada 5.200 kali penindakan dan di 2017 hanya 3.176 kali penindakan.
Sri Mulyani menjelaskan langkah yang dilakukan Ditjen Bea Cukai bekerja sama dengan pihak kepolisian hingga Pemda tersebut, bisa menyelamatkan pemasukan negara dalam bentuk cukai.
"Kami bisa menyelamatkan Rp 339 miliar untuk tahun 2020. Pada tahun sebelumnya Rp 247 miliar bisa diselamatkan. Sebelumnya 2018 diselamatkan Rp 225 miliar Ini angka yang sangat signifikan," katanya.
Sri Mulyani meminta semua pihak terkait tidak gampang puas dengan meningkatnya jumlah penindakan dan uang yang diselamatkan tersebut. Dia juga meminta Ditjen Bea dan Cukai tetap waspada dengan peredaran rokok illegal.
"Selama 4 tahun terakhir terlihat lebih dari 335 juta batang tiap tahun rokok illegal beredar. Semakin tinggi cukai semakin kita naikkan, semakin mereka bersemangat menghasilkan rokok illegal. Ini tantangan yang nyata," ujarnya.
Saham Rokok
Seiring dengan pengumuman Sri Mulyani tentang kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok untuk tahun depan, saham-saham emiten rokok langsung 'terbakar' alias rontok pada perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesi kedua, Kamis (10/12).
Saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) terjun bebas menembus batas auto reject sebesar 6,96 persen, menetap di level 1.670 dari pembukaan pagi ini di 1.805. Investor asing terlihat beramai-ramai melepas HMSP. Tercatat saham dijual hingga Rp28,3 miliar hari ini.
Perusahaan raksasa PT Gudang Garam Tbk (GGRM) pun tak kuasa dihantam kabar buruk tersebut.
Saham GGRM anjlok 6,99 persen menjadi 44.275 dari posisi buka di 48 ribu. Saham dilepas massal, dan mencetak jual bersih sebesar Rp66,14 miliar.
Saham Bentoel International (RMBA) juga turun 4 poin (1,07 persen) ke Rp 370. Sementara saham Wismilak Inti Makmur (WIIM) sempat turun 15 poin atau 2,252 persen pada pukul 14.02 WIB, namun pada penutupan perdagangan berakhir stagnan atau harga sahamnya sama saat pembukaan di level Rp 495.
Tak hanya perusahaan rokok, produsen tembakau pun jadi sasaran. PT Indonesian Tobbaco Tbk (ITIC) dilepas oleh pelaku pasar lokal, mengakibatkan koreksi sebesar 5,29 persen menjadi 895 per saham.
Namun, asing juga masih mencatat beli, sepanjang hari pelaku asing membeli sebesar Rp32,71 juta.
Imbasnya, IHSG merah pada pembukaan sesi II. Di level terendahnya, indeks saham menyentuh level 5.932. Namun, tampak berangsur membaik. Pada pukul 14:40 WIB indeks terkoreksi 0,18 persen menjadi 5.933.
Tanggapan YLKI
Terkait kenaikan cukai rokok mulai tahun depan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai hal itu merupakan hal baik untuk upaya pengendalian konsumsi.
Sekretaris Harian YLKI Agus Suyatno mengatakan, pihaknya mengapresiasi kenaikan cukai rokok hingga 12,5 persen pada 2021 nanti karena menilik dari tingkat inflasi ditambah dengan kondisi ekonomi tahun 2020.
"Tetapi kebijakan ini perlu dikawal agar efektif dalam menurunkan konsumsi rokok. Karena angka 12,5 persen adalah rata-rata, maka perhatian perlu difokuskan pada jenis rokok mana yang tarif cukainya naik paling tinggi," ucap Agus, Kamis (10/12).
YLKI mengharapkan agar angka kenaikan lebih tinggi minimal sama dengan tahun kemarin di angkat 23 persen rerata tarif cukai dan angka 35 persen kenaikan HJE.
"Agar tujuan pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan negara efektif, maka kenaikan tertinggi cukai rokok harus dikenakan kepada jenis rokok yang memiliki pangsa pasar terbesar," ucap Agus.
Ia menyebutkan, pangsa pasar terbesar sendiri yaitu sigaret kretek mesin (SKM) khususnya golongan 1 dengan produksi diatas 3 milyar batang per tahun.
"Pangsa pasar SKM 1 mencapai 63 persen dan jika pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak, Maka harus menaikkan tarif cukai dan harga eceran produk tersebut," ujar Agus.
Di masa lalu, lanjut Agus, kenaikan cukai tertinggi tidak pada SKM 1. Setelah kretek mesin, sigaret putih mesin juga harus dinaikkan tarif cukai nya dengan sama tingginya karena mereka menggunakan mesin yang capital intensive, tidak labor intensive.
"Sedangkan untuk Sigaret Kretek tangan yang labor intensif, menjadi wajar diberikan kenaikan tarif cukai yang lebih rendah," kata Agus.
Sebagai catatan, Agus mengungkapkan, bahwa harga rokok per bungkus saat ini antara 10 ribu sampai 25 ribu. Harga ini masih jauh dari harga yang bisa mengendalikan konsumsi para perokok.
"Merujuk pada survei dari PKJS Universitas Indonesia, bahwa harga yang dapat menurunkan konsumsi rokok adalah Rp 60-70 ribu per bungkus," kata Agus.
Agus juga menjelaskan, dengan kenaikan 12,5 persen kemungkinan harga termahal satu bungkus rokok berkisar Rp 35 ribu dan ini masih setengah dari harga yang menurunkan konsumsi.
"Kami berharap pemerintah fokus pada harga rokok SKM 1 agar mendekati Rp 60 ribu per bungkus. Kami yakin Presiden Jokowi melindungi anak-anak dari terkaman industri rokok," ucap Agus.(tribun network/yov/har/dod)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.