Kaleidoskop 2020: Optimisme Pemulihan Ekonomi di Tengah Utang yang Makin Menggunung
Perekonomian Indonesia di tahun 2021 diyakini akan mulai rebound alias berangsur pulih setelah terpuruk cukup dalam akibat pandemi selama 2020 ini.
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam beberapa hari lagi kita akan menutup tahun 2020 dan berganti menyambut kedatangan tahun baru 2021.
Banyak optimisme yang disampaikan Pemerintah dan juga pelaku usaha serta ekonom bahwa perekonomian Indonesia di tahun 2021 akan mulai rebound alias berangsur pulih setelah terpuruk cukup dalam akibat pandemi selama 2020 ini.
“Indonesia telah melewati posisi rock bottom, posisi terendah ekonomi pada triwulan II. Kita optimistis tren perbaikan dan pemulihan ekonomi akan terus berlanjut pada tahun mendatang,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di acara Outlook Perekonomian: Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi di 2021, Selasa (22/12/2020).
Tren perekonomian yang ditandai dengan kembali menggeliatnya sejumlah sektor ekonomi di kuartal IV 2020 ini disebut-sebut pengamat merupakan fase terlewatinya Indonesia dari posisi krisis terburuk akibat Covid-19 selama 2020 ini.
Namun diantara optimisme tersebut perekonomian Indonesia tahun 2021 juga dipastikan akan dibayang-bayangi oleh makin menggunungnya tumpukan utang Pemerintah.
Utang-utang baru yang dibentuk pemerintahan Jokowi-Maruf Amin untuk menambal bolong defisit APBN 2020 membuat total utang Pemerintah melonjak dan terakumulasi hampir mencapai Rp 6.000 triliun.
Tentu saja, makin membesarnya utang ini membuat ruang gerak Pemerintah untuk membiayai pembangunan dari pendapatan di APBN seperti pajak dan cukai semakin terbatas.
Data terbaru, posisi utang pemerintah pusat per akhir November 2020 mencapai Rp 5.910,64 triliun.
Dikutip dari buku APBN KiTa, Jumat (25/12/2020) rasio utang pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,13 persen.
Nilai utang tersebut meningkat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
"Hal ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional," sebut laporan realisasi APBN yang diterbitkan secara bulanan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tersebut.
Kemenkeu menyatakan, komposisi utang pemerintah akan tetap dijaga dalam batas tertentu sebagai pengendalian risiko sekaligus menjaga keseimbangan makro ekonomi di dalam negeri.
UU No 17 tahun 2003 sudah mengatur batasan maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 60 persen.
Dalam laporan itu disebutkan, utang yang berasal dari pinjaman sebanyak 16,1 persen atau mencapai Rp 825,59 triliun.
Rinciannya, pinjaman yang berasal dari dalam negeri mencapai Rp 11,5 triliun dan pinjaman dari luar negeri sebesar Rp 814,05 triliun.
Sementara, sebagian besar dari sumber pembiayaan atau utang tersebut sebanyak 83,9 persen berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara.
Dari penerbitan SBN domestik, sebanyak Rp 3.891,92 triliun pembiayaan didapatkan dari instrumen SBN yang diterbitkan untuk pasar domestik, sementara sebesar Rp 1.193,12 triliun diterbitkan dalam denominasi valuta asing.
"Sepanjang tahun 2020, pemerintah telah melakukan upsizing penerbitan SBN untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang meningkat akibat pandemi, termasuk penerbitan SBN ritel yang disabut baik oleh masyarakat terutama generasi milenial," sebut laporan tersebut.
"Hal ini sesuai dengan kebijakan umum pengelolaan utang untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik," jelas Kemenkeu.
Pembiayaan APBN Naik
Kementerian Keuangan menyatakan, sampai dengan November 2020, pemerintah sudah melakukan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 1.104,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jumlah pembiayaan APBN ini meningkat 162 persen dibanding realisasi periode sama tahun lalu Rp 421 triliun.
"Ini agak di atas dari Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039 triliun atau dalam hal ini terjadi kenaikan 162 persen dibandingkan tahun lalu yang pembiayaannya adalah sebesar Rp 421 triliun," ujarnya saat konferensi pers APBN KiTa secara virtual, Senin (21/12/2020).
Sementara itu, pembiayaan utang untuk menutup defisit APBN yang mencapai Rp 883,7 triliun atau 5,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga naik 140,2 persen.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang sebesar Rp 1.065,1 triliun per November 2020 atau naik dibandingkan periode sama tahun sebelumnya Rp 443,4 triliun.
Sri Mulyani menyebutkan, ada sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) Rp 221,1 triliun.
"Sampai dengan November 2020 ini kita mendapatkan atau masih memiliki SILPA sebanyak Rp 221,1 triliun," ujar Sri Mulyani.
Menteri Baru, Darah Baru
Masuknya beberapa menteri baru di kabinet Jokowi-Maruf Amin hasil reshuffle Desember ini juga dinilai menjadi injeksidarah baru untuk memulihkan perekonomian Indonesia tahun 2021 mendatang setelah terpuruk oleh Covid-19.
Masuknya dia kader Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di kabinet, yakni Sandiaga Salahuddin Uno sebagai Menteri Parekraf dan Muhammad Lutfi sebagai menteri perdagangan dinilai tepat.
Ketua Umum (Ketum) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Mardani H.Maming mengungkapkan Presiden Jokowi sudah melakukan hal yang tepat untuk memasukan kader-kader terbaik HIPMI kedalam jajaran menterinya.
“Saya rasa ini keputusan yang tepat, untuk bisa untuk menghadapi bonus demografi dan Pandemi Covid-19. Ini akan menjadi energi baru untuk pemerintahan Pak Jokowi di periode kedua, kondisi sekarang butuh energi anak muda," kata Mardani di Jakarta (22/12/2020).
Kader HIPMI dan mantan ketum HIPMI yang sudah lebih dahulu ditunjuk untuk menjabat menjadi Menteri adalah Bahlil Lahadalia sebagai Kepala BKPM dan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN.
“Saat ini kita butuh energi anak muda, dengan adanya kader-kader terbaik HIPMI di jajaran Menteri kita bisa berharap adanya perubahan yang akan dibawa melalui kebijakan mereka nanti. Insyallah akan mendorong perekonomian nasional dan lahirkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya," kata Mardani.
Dengan Indonesia yang saat ini mengalami resesi di Kuarta III minus 3,49 persen, perlu adanya percepatan untuk bisa membangkitkan perekonomian Indonesia.
“Saya berharap ada kebijakan-kebijakan yang bisa memberikan semangat baru untuk dalam dunia usaha agar bisa menekan tingginya pengganguran dan bisa berdampak untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Mardani.
Mardani mengatakan, keduanya kader terbaik HIPMI dan harapannya bisa memberikan kontribusi terbaik untuk Indonesia.
Optimis 2021 Pulih
Grant Thornton merilis laporan tahunan Grant Thornton International Business Report (IBR) terkait perkembangan bisnis dan ekonomi dalam 12 bulan ke depan.
Memasuki tahun 2021, pelaku bisnis Indonesia memandang optimistis bahwa ekonomi akan semakin membaik.
Hal ini diyakini oleh 79 persen responden, angka tersebut naik signifikan dari level 56 persen pada survei IBR di pertengahan tahun 2020.
Angka ini cukup menggembirakan karena menempatkan pelaku bisnis Indonesia di peringkat 2 dunia setelah China terkait optimisme pelaku bisnis secara global.
CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani memberikan pandangan tahun ini merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh sektor ekonomi.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi akan sangat ditentukan dengan pengendalian pandemi dan efektivitas dari vaksinasi.
"Salah satu kunci lain pemulihan ekonomi adalah menumbuhkan daya beli masyarakat dengan memastikan kelancaran percepatan penyerapan anggaran bantuan sosial dan berbagai stimulus ekonomi untuk mendorong daya beli," tutur Johanna, Selasa (22/12/2020).
Baca juga: Hingga November 2020, Utang Pemerintah Tembus Rp 5.910 Triliun
Terkait kebijakan new normal di tahun 2021, sebanyak 55 persen dari pelaku bisnis Indonesia meyakini orang-orang akan kembali bekerja di kantor, meskipun 32 persen pelaku bisnis lainnya berpendapat akan lebih banyak perusahaan masih menerapkan Working from Home (WFH).
Baca juga: Genjot Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Gunakan Pendekatan Big Data dan Kolaborasi
"Pelaku bisnis Indonesia juga berpendapat tantangan terbesar dalam mengatasi pandemi Covid-19 secara nasional adalah terkait perilaku masyarakat yang belum disiplin dalam mengikuti berbagai protokol kesehatan serta kebijakan yang diambil Pemerintah," kata Johanna.
"Tantangan tersebut diikuti dengan kepentingan-kepentingan politis yang dirasa masih berperan dominan atas kebijakan maupun regulasi yang diterapkan," tambahnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Optimis Ekonomi Indonesia Bangkit 2021
Seperti diketahui tahun 2020, menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan ekonomi global, termasuk Indonesia.
Pandemi virus Covid-19 telah berdampak pada seluruh sektor usaha yang membuat perekonomian Indonesia melambat.
Ekonomi Indonesia pun secara resmi memasuki fase resesi setelah mengalami minus dalam dua kuartal berturut-turut yaitu minus 5,32 persen pada kuartal II dan minus 3,49 persen pada kuartal III di tahun 2020.
Keyakinan Airlangga Hartarto
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Pemerintah telah mempersiapkan langkah mendasar dengan melakukan reformasi struktural yang akan mulai di awal tahun 2021, diharapkan hasilnya sudah mulai terlihat di sepanjang 2021.
Airlangga mengatakan, pemerintah menggunakan momentum ini untuk meraih peluang dalam mendorong pemulihan ekonomi, dengan melakukan reformasi struktural melalui kemudahan berusaha, pemberian insentif usaha, dan dukungan UMKM, untuk memberikan kepastian usaha dan menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih baik, sehingga penciptaan lapangan kerja dapat terealisasi.
"Salah satu pendorong utama (key-driver) yang diandalkan adalah melalui UU Cipta Kerja,” ungkap Menko Airlangga, dalam acara Outlook Perekonomian: Meraih Peluang Pemulihan Ekonomi di 2021, Selasa (22/12/2020).
Selain itu, sejumlah strategi lainnya turut disiapkan.
Diantaranya, melanjutkan Program Komite PC-PEN (Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) di tahun 2021, dukungan kebijakan untuk pemberdayaan UMKM, penyusunan Daftar Prioritas Investasi (DPI), dan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau SWF.
Sinyal pemulihan mulai terlihat, ekspor mulai pulih pada akhir 2020 dan tren ini diharapkan terus terjaga pada tahun 2021.
Indonesia telah mendapatkan kembali fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang tentunya akan mendorong ekspor Indonesia.
Transaksi Berjalan Indonesia pun pertama kalinya surplus sebesar 964 juta dolar AS atau 0,36 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sejak 10 tahun terakhir.
Kondisi ini juga didukung oleh Neraca Perdagangan Indonesia yang sampai dengan Oktober 2020 surplus sebesar 17,07 miliar dolar AS, serta cadangan devisa yang cukup tinggi sebesar 135,2 miliar dolar AS pada triwulan III/2020.
Indikator makro
Berdasarkan data PDB pada triwulan III tahun 2020 yang telah menunjukkan tren perbaikan, pemerintah optimistis akan terus berlanjut di Triwulan IV 2020 dan sepanjang tahun 2021.
Selain itu, tren perbaikan juga terlihat dari kinerja pasar saham dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. IHSG berada pada kisaran 6.100 dan rupiah pada posisi 14.100 per dolar Amerika, posisi yang relatif stabil dan mulai kembali atau bahkan lebih baik dari sebelum kondisi Covid-19.
Konsumsi domestik dan inflasi juga menunjukkan tren perbaikan, memperkuat fondasi pemulihan ekonomi dari sisi demand.
Permintaan domestik dan keyakinan konsumen yang membaik, memicu aktivitas produksi domestik.
“Di sisi supply, di tengah kontraksi ekonomi yang terjadi, masih terdapat sektor yang mampu bertahan dan tumbuh positif di sepanjang tahun 2020, seperti sektor Pertanian, Informasi dan Komunikasi, Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial, serta Jasa Pendidikan,” lanjut Menko Airlangga.
Peluang berikutnya berasal dari pemulihan harga komoditas utama Indonesia di pasar global, seperti CPO dan Nikel. Pulihnya harga komoditas ini akan memberikan dampak multiplier yang besar terhadap aktivitas ekonomi domestik sehingga dapat mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Hal lain yang harus dimanfaatkan adalah aktivitas perdagangan internasional yang semakin terintegrasi, melalui perjanjian RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) secara luas oleh 10 negara ASEAN dan 5 Mitra dagang besar, serta kerja sama internasional lainnya.
Dengan berbagai tren positif, serta berbagai bauran kebijakan dan program, dengan memanfaatkan momentum dan meraih peluang pemulihan ekonomi, diharapkan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen di tahun 2021.
Namun, Airlangga menggarisbawahi bahwa berbagai upaya pemerintah tersebut tidak akan berhasil, tanpa dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.
“Koordinasi dan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan seluruh komponen masyarakat harus terus diperkuat, untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang pemulihan ekonomi di tahun 2021,” ujarnya.