Asosiasi Jalan Tol Tanggapi Rencana Pengenaan Tarif MDR di Transaksi Uang Elektronik
Bisnis pembayaran jalan tol saat ini hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol sebagai merchant.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan, Anggar Septiadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) menilai penerapan tarif merchant discount rate (MDR) tak bisa serta merta menjawab masalah ketidakekonomian bisnis uang elektronik berbasis cip (e-money chip based).
“Perlu dikaji secara mendalam bukan hanya dari perspektif ekosistem produk perbankan saja tetapi juga dilihat dari product development, infrastruktur development, dan juga aspek beneficial yang diterima masing-masing pihak,” ujar Sekretaris Jenderal ATI Kris Ade Sudiyono kepada KONTAN, Minggu (3/1/2021).
Ia menambahkan perbankan yang merupakan mayoritas penerbit uang elektronik berbasis kartu ini tak bisa cuma didasari atas berapa besar biaya investasi yang dikeluarkan dibandingkan dengan pendapatan yang didapat.
Baca juga: Arus Balik Liburan Natal dan Tahun Baru 2021, Tol Palikanci Macet di KM 190, Tol Cikampek Lancar
Bisnis pembayaran jalan tol saat ini memang hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai merchant.
Baca juga: Hari Pertama 2021, 106.058 Kendaraan Masuk Jakarta
Agar uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi, penerbit mesti menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT misalnya membangun gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.
Sementara pendapatan penerbit berasal dari dana menganggur (floating money) saldo uang elektronik, maupun komisi isi ulang saldo.
Penerbit bisa menempatkan floating money maksimum 70% pada instrumen surat berharga.
Sementara seluruh uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip ini akan diterima oleh merchant sepenuhnya.
Kris menilai efisiensi dan kesempatan monetisasi produk uang elektronik seharusnya juga jadi komponen menganalisis biaya dan keuntungan bagi bank penerbit.
“Kegagalan mencapai tingkat keekonomian tak bisa serta merta diselesaikan dengan pengurangan biaya sharing infrastructure, atau malah dibebaskan dengan memasukan biaya tersebut dalam bagian investasi BUJT yang akhirnya dibebankan kepada masyarakat,” ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Pembayaran Indonesia (ASPI) Djamin Nainggolah menilai asumsi tersebut juga kurang tepat.
Sebab selain membayar biaya kepada BUJT bank penerbit pun mesti mengeluarkan biaya infrastrukturnya mandiri.
“Misalnya untuk membangun kanal isi ulang, swithing, issuer, mesin isi ulang, koneksi sistem."
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.