Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Rizal Ramli Kritik Sri Mulyani: Pajak Pulsa Bagian dari Dampak Utang dengan Bunga Sangat Tinggi

Rizal Ramli menilai pemungutan PPh untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik bagian dari dampak utang dengan bunga yang tinggi.

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Rizal Ramli Kritik Sri Mulyani: Pajak Pulsa Bagian dari Dampak Utang dengan Bunga Sangat Tinggi
Tribunnews/Irwan Rismawan
Rizal Ramli menilai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik bagian dari dampak utang dengan bunga yang sangat tinggi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Rizal Ramli menilai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik bagian dari dampak utang dengan bunga yang sangat tinggi.

Kritik Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6 /PMK.03/2021.

"Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa," ujar Rizal Ramli kepada wartawan, Sabtu (30/1/2021).

Menurut Rizal Ramli yang juga mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu, cara yang dilakukan Menkeu dengan menarik pajak tersebut tidak kreatif.

"Mbok kreatif dikit kek. Udah ndak ngerti, dengerin mediocre," ujar Rizal Ramli.

Baca juga: XL Axiata Masih Pelajari Aturan Baru terkait Pajak Penjualan Pulsa

Sebagaimana diketahui, keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer.

"Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucer perlu mendapat kepastian hukum," demikian bunyi PMK Nomor 6/PMK.03/2021 itu seperti dikutip di Jakarta, Jumat (29/1/2021).

PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021.

Berita Rekomendasi

Menurut Sri Mulyani, pertimbangan lain dalam menerapkan regulasi baru itu adalah untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan PPN atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa.

Baca juga: Begini Cara Sri Mulyani Pangkas Mekanisme Pemajakan Pulsa Hingga Token Listrik

Penghitungan dan pemungutan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa pulsa dan kartu perdana yang dapat berbentuk voucer fisik atau elektronik oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara distribusi.

Selain itu, penyerahan BKP berupa token oleh penyedia tenaga listrik juga dikenai PPN.

PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa pulsa dan kartu perdana oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi kepada penyelenggara distribusi tingkat pertama dan atau pelanggan telekomunikasi.

Kemudian, penyelenggara distribusi tingkat pertama kepada penyelenggara distribusi tingkat kedua dan atau pelanggan telekomunikasi.

Penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada pelanggan telekomunikasi melalui penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya atau pelanggan secara langsug dan penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya.

Dalam pasal 4 ayat 4 disebutkan pemungutan PPN sesuai contoh yang tercantum pada lampiran dalam PMK itu yakni sebesar 10 persen.

Baca juga: Jualan Pulsa, Voucher dan Token Listrik Kena Pajak, Pedagang Tak Perlu Bikin Faktur Baru

Sementara itu, terkait penghitungan dan pemungutan PPh atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua yang merupakan pemungut PPh pasal 22, dipungut PPh pasal 22.

Pemungut PPh melakukan pemungutan sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada distribusi tingkat selanjutnya atau harga jual atas penjualan kepada pelanggan secara langsung.

Apabila wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka besarnya tarif pemungutan PPh pasal 22 lebih tinggi 100 persen dari tarif 0,5 persen.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas