Penilaian Harga Pembebasan Lahan Proyek Nasional Dipastikan Sesuai Pasar
Penilaian harga lahan memang berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Bisa lebih tinggi, tetapi bisa juga lebih rendah.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penilaian harga lahan memang berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Bisa lebih tinggi, tetapi bisa juga lebih rendah.
Termasuk harga lahan yang akan dibebaskan Pertamina maupun BUMN dan institusi Pemerintah untuk beberapa proyek strategis nasional, tentu tak bisa disamakan.
Demikian disampaikan Hamid Yusuf, Ketua Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (KSPI MAPPI).
Baca juga: Kejati DKI Tak Hadir, Sidang Kasus Lahan Cengkareng Era Ahok Ditunda Pekan Depan
“Kondisional, tidak bisa disamakan. Penilaian harga lahan bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Tetapi, penilaian tentu dilakukan secara objektif dan mengacu pada nilai pasar,” kata Hamid kepada media di Jakarta hari ini.
Menurut Hamid, sangat lazim ketika warga memiliki ekspektasi bahwa lahan yang dimiliki akan dinilai tinggi.
Tetapi masyarakat juga harus mengetahui, bahwa dalam melakukan penilaian harga, Penilai Pertanahan sudah memiliki standar. “Dengan demikian, penilaian harga lahan selalu dilakukan dengan objektif,” kata dia.
Baca juga: Permasalahan Debit Air Irigasi Batu Balai, Waka DPD RI Akan Koordinasi ke Kementerian PUPR
Dalam melakukan penilaian, imbuh Hamid, pihak Penilai Pertanahan mengacu pada dua komponen, yaitu fisik dan non fisik.
Fisik bisa meliputi tanah, bangunan, tanaman, dan sebagainya. Sedangkan dalam penilaian non fisik, juga diperhitungkan faktor solatium, yaitu hubungan emosional dengan rumah yang akan dibebaskan.
Misal, rumah yang akan dibebaskan memiliki sejarah karena sudah menghuni selama 30 tahun, tentu ada perhitungan kerugian emosionalnya.
Begitu pula jika punya warung atau kegiatan usaha, tentu menjadi faktor penilaian juga. “Jadi, semua ada hitungannya. Termasuk kompensasi biaya pindah,” jelasnya.
Di sisi lain, Hamid juga menegaskan bahwa pemilik proyek sebagai pembeli lahan, seperti Pertamina, sama sekali tidak terlibat dalam proses penilaian terhadap lahan yang akan dibebaskan untuk proyek strategis nasional.
Karena sesuai konsiderasi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penilaian lahan dengan skala besar yaitu di atas lima hektare, dilakukan Penilai Pertanahan.
“Jadi yang menilai harga lahan adalah Penilai Pertanahan yang berada dalam wadah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Bukan Pertamina,” tegasnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, Pertamina ‘hanya’ bertindak sebagai pemberi tugas. Sedangkan hasil penilaian, akan dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagai pengguna jasa Penilai.
Izin Penilai Pertanahan, menurut Hamid, dikeluarkan Kementerian Keuangan dan mendapat lisesnsi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Dengan demikian, selain Penilai Pertanahan, memang tidak ada pihak lain sebagai penilai harga lahan untuk kepentingan umum,” kata dia.
Sebelumnya, para pemilik lahan di Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu memang minta ganti rugi kepada Pertamina agar tidak jauh dengan masyarakat di Tuban, Jawa Timur. Mereka berharap, Pertamina bisa menaikkan harga lahan mereka. (*)