Industri Penerbangan Butuh Dukungan Insentif Pemerintah
ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemulihan industri penerbangan Indonesia dari keterpurukan imbas pandemi Covid-19 membutuhkan bantuan dan dukungan pemerintah melalui berbagai insentif.
Apalagi, industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian Indonesia yang memberikan sumbangan lebih dari 2,6 persen produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta pekerjaan.
Baca juga: Maskapai AS Desak Pemerintah Hapuskan Tes Covid-19 untuk Penerbangan Domestik
Saat ini, menurut Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja, maskapai penerbangan membutuhkan insentif perpajakan.
Seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020.
Namun, hingga kini persetujuan pemerintah atas permintaan insentif ini belum turun.
“Keputusan insentif perpajakan ini ada di tangan Kemenko Perekonomian. Saya berharap insentif ini bisa segera direalisasikan, karena ini membantu sekali untuk maskapai,” ujar Denon di Jakarta, Jumat (25/2/2021).
Dia menjelaskan ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan.
Baca juga: Ini Daftar 10 Rute Penerbangan Domestik Tersibuk di Dunia Menurut Versi OAG
Akan tetapi, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
"Sampai sekarang kami cukup intens berkomunikasi dengan Kemenko Perekonomian untuk menghitung besaran insentifnya. Tapi karena ini menyangkut dana pemerintah, tentu tidak boleh salah menghitungnya, harus benar-benar sesuai,” jelasnya.
Selain itu, dia melanjutkan, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Fleksibilitas pembayaran ke Pertamina, menurut Denon, terkait dengan biaya avtur. Biaya bahan bakar ini memakan 40-45 persen biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di tanah air.
Baca juga: Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng Layani 2 Rute Penerbangan Tersibuk di Dunia
Denon mengaku paham bahwa tidak mudah juga bagi BUMN di sektor penerbagan untuk memberi keringanan pada maskapai karena mereka pun cukup terdampak akibat pandemi ini.
“Itu sebabnya, yang kami mohonkan adalah fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.
Secara terpisah, CEO Indonesia AirAsia Veranita Yosephine mengungkapkan senantiasa bernegosiasi dengan pengelola bandara terkait biaya parkir pesawat yang tidak aktif untuk mendapatkan penundaan atau pemotongan biaya.
Selain itu, menurut dia, maskapai juga mengharapkan adanya subsidi biaya tersebut sebagai bentuk dukungan pemerintah.
Lebih lanjut, industri penerbangan juga akan terbantu dengan adanya percepatan vaksinasi dan upaya-upaya mempermudah tes Covid-19 untuk meringankan biaya perjalanan dengan transpotasi udara.
Saat ini, salah satu insentif yang telah terealisasi adalah keringanan biaya Passenger Service Charge (PSC) untuk mendorong masyarakat bepergian dengan maskapai penerbangan.
Ke depannya, menurut Veranita, pemerintah diharapkan mulai menyiapkan pembukaan pintu perbatasan international, terutama dalam pemenuhan syarat-syarat kesehatan yang ditetapkan, seperti keterangan bebas Covid-19 maupun vaksinasi.
Hal ini bisa dimulai secara bilateral dengan negara-negara sumber pasar wisatawan mancanegara.
Untuk semua persoalan yang dihadapi maskapai dan harapannya ke depan, kata Vera, “Kami terus berkoordinasi dengan otoritas, asosiasi dan pemangku kepentingan penerbangan agar bisa bertahan dan pulih dari kondisi dampak pandemi ini.”
Laporan Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sepanjang 2020 hanya 4,02 juta kunjungan. Bila dibandingkan dengan kunjungan wisman pada 2019 yang sebesar 16,11 juta kunjungan, jumlah ini merosot 75,03 persen year on year.
Keseluruhan jumlah penumpang angkutan udara domestik sepanjang 2020 tercatat 32,4 juta orang. Angka ini turun 57,76 persen year on year dari 2019 yang mencapai 76,79 juta orang.
Sementara, jumlah penumpang internasional tercatat 3,7 juta orang atau anjlok 80,61 persen dibandingkan periode yang sama 2019.