PSI Pertanyakan Kebijakan Mendag Impor Besar 1 Juta Ton
Pertanyakan kebijakan Mendag mengimpor 1 juta ton beras, PSI ingatkan harusnya impor dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan waktu panen.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempertanyakan kebijakan Menteri Perdagangan untuk mengimpor 1 juta ton beras saat ini.
Impor beras seharusnya dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan waktu panen.
“PSI tidak anti-impor. Tapi masalah waktu penting diperhatikan. Kita panen raya dua kali, April-Mei. Lalu, panen kembali di kisaran Oktober-November. Sampai Juni, stok kita masih aman karena ditopang panen April-Mei. Kalau mau impor, seharusnya dilakukan Juni-Agustus, atau Desember-Januari," ujar Koordinator Juru Bicara DPP PSI Kokok Dirgantoro, dalam keterangannya, Kamis (18/3/2021).
Baca juga: Anggota Komisi IV Kritik Rencana Impor Beras: Baru Wacana Saja Bikin Harga Gabah di Petani Jatuh
Pada kenyataannya, Kokok menilai rencana impor beras tersebut langsung menekan harga gabah.
Saat ini, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani beberapa wilayah sudah di bawah Rp 3.800 per kilogram.
Angka itu merosot cukup dalam dari Rp 4.800 per kg pada September 2020.
"PSI akan mengerahkan semua struktur yang dimiliki di wilayah untuk mengecek harga gabah. Beberapa jaringan petani yang kami kontak memberikan informasi harga gabah cenderung rendah," kata Kokok.
Baca juga: DPR Bentuk Panja: Harga Gabah Lagi Murah-murahnya, Kenapa Pemerintah Malah Impor Beras 1 Juta Ton?
Dalam informasi yang dikumpulkan PSI, jumlah produksi dan konsumsi beras Indonesia relatif seimbang dengan kecenderungan kurang.
Demi ketahanan pangan, Kokok menegaskan harus ada cadangan.
Sebab itulah tugas dan peran utama Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyediakan.
“Ini yang menimbulkan potensi kecurigaan. Produksi kurang untuk mencukupi konsumsi. Tapi Bulog melaporkan kelebihan stok hingga ratusan ribu ton. Dan tetap pula mau impor. Ini ada apa sebenarnya?" tanyanya.
Baca juga: PSI: Selamatkan Pensiunan Nasabah Jiwasraya
Lebih jauh, Kokok menegaskan Indonesia memerlukan data tunggal dan kredibel soal produksi dan konsumsi beras.
Semua kebijakan harus didasari data tersebut.
“Selain data, perlu juga dicek terutama impor saat ini. Apa dasarnya, importirnya siapa, beli di harga berapa. Jangan ada kesan hanya dijawab diplomatis, sementara banyak kecurigaan terjadi perburuan rente. Lebih baik transparan daripada di ujung nanti terbelit dugaan korupsi. Kalau perlu minta KPK buat mendampingi,” pungkasnya.