Kebijakan Fiskal 2022 Dinilai Belum Mendukung Pemulihan Ekonomi Hijau
Arah kebijakan fiskal tahun 2022 yang dipaparkan Sri Mulyani, menurut Sekjen FITRA Misbah Hasan, belum mencerminkan transformasi kepada green economy.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
“Kelihatannya Bappenas dan Kementerian Keuangan jalan sendiri-sendiri dan belum sinergis”, tegas Aldi.
Karena itu, Aldi menyarankan bahwa Bappenas dan Kementerian Keuangan perlu saling sinergis dalam perencanaan (RKP 2022) dan penganggaran/fiskal (KEM PPKF 2022).
Dengan kata lain, tambah Aldi, perencanaan ekonomi hijau yang termuat dalam RKP 2022, meskipun masih sangat kecil, jangan sampai hilang dan tidak ada dalam KEM PPKF 2022 di Kementerian Keuangan.
Aldi yang juga anggota Koalisi GENERASI HIJAU mencontohkan kerangka pikir RKP 2022 oleh Bappenas, dimana pemulihan ekonomi nasional menurut kerangka RKP 2022 sudah memasukkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai salah satu fokus utama.
Pembangunan rendah karbon (PRK) ini, lanjut Aldi, penting dipertegas untuk mendapatkan dukungan fiskal yang memadai dari APBN 2022, dalam rangka mencegah krisis iklim ke depan. Apalagi, pemerintah sendiri sudah menetapkan target penurunan emisi karbon tahun 2022 sebesar 26,8% - 27,1%, sebuah target yang rendah tentunya.
Sejalan dengan Aldi, Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB) Dr. Cand. Yusdi Usman, mengatakan bahwa Indonesia sudah menetapkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang tercantum dalam NDC (Nationally Determined Contributions) sebesar 29% dengan kekuatan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Yusdi khawatir bahwa jika kebijakan fiskal pemerintah cenderung lemah dalam mendukung transformasi ekonomi hijau (green economy), maka target NDC tahun 2030 akan sulit dicapai.
Apalagi, kebutuhan dana untuk mencapai NDC ini tidak kecil. Menurut Yusdi, mengacu pada kebutuhan dana untuk mencapai target NDC yang terdapat dalam Second Biennial Update Report (BUR-2) yang dikeluarkan pemerintah, kebutuhan dana untuk mencapai target NDC adalah sebesar Rp. 3.461 Triliun sampai tahun 2030 atau Rp. 266,2 Triliun per tahun (2018-2030).
Yusdi juga mengingatkan adanya kebutuhan Indonesia untuk transformasi menuju netral karbon (net zero emission) tahun 2050.
Jika pemerintah tidak mempersiapkan berbagai strategi, termasuk kebijakan fiskal untuk mendukung ekonomi hijau ini, maka upaya penanganan dan pencegahan krisis iklim tahun 2030 dan 2050 tidak akan terwujud.
Skema Fiskal Harus Mendukung Ekonomi Hijau
Sementara itu, Misbah Hasan menyarankan kepada pemerintah untuk mengarahkan semua skema fiskal dalam rangka memperkuat ekonomi hijau.
Misbah menambahkan bahwa sejumlah skema fiskal yang bisa digunakan untuk transformasi ekonomi hijau termasuk melalui (1) skema perpajakan berupa tax allowance, tax holiday, pembebasan bea masuk impor, dan sebagainya, (2) kebijakan belanja negara dimana Kementerian Keuangan sudah menggunakan pendekatan climate budget tagging di pusat dan daerah, dan (3) kebijakan pembiayaan anggaran dalam APBN.
Misbah melanjutkan bahwa transformasi ekonomi hijau perlu didukung oleh semua skema kebijakan fiskal tersebut.