Ekonom Sarankan Evaluasi Insentif Perpajakan, Bukan Menaikkan PPN
Bhima mencontohkan, insentif perpajakan yang kurang pas seperti pemberian relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk perusahaan.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap insentif perpajakan, bukan malah wacana naikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Bhima mencontohkan, insentif perpajakan yang kurang pas seperti pemberian relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk perusahaan.
"Strateginya adalah mengevaluasi semua insentif perpajakan seperti penurunan tarif PPH Badan untuk korporasi yang dianggap menggerus rasio pajak," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, Selasa (18/5/2021).
Kemudian, dia menyarankan, pemerintah juga bisa melakukan evaluasi terhadap relaksasi Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnB) untuk mobil sampai 2.500 cc.
"Jelas banyak kebijakan pajak salah alamat. PPnBM kan pajak untuk kendalikan barang mewah, justru pemerintah berpihak pada kelas menengah atas, kok sekarang mau naikkan tarif PPN kan tidak sinkron," kata Bhima.
Baca juga: Ekonom INDEF: Impor Pangan Makin Parah Sejak Krisis 1998
Menurutnya, tercatat satu di antara sebab belanja pajak naik hingga Rp 228 triliun di 2020 karena pemerintah hobi bagi bagi stimulus pajak ke objek yang salah.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Cari Jalan Pintas Kejar Target Penerimaan Pajak
"Jangan sampai pemerintah mau cari pendapatan pajak, tapi lupa kalau hadiah pajak buat konglomerat tidak dipangkas. Artinya, kebijakan pajak pemerintah Indonesia justru suburkan ketimpangan di tengah pandemi Covid-19," pungkas Bhima.