Tiga Alasan Undang-Undang Migas Perlu Direvisi
Terjadi pergeseran paradigma energi UU Migas Nomor 22 tahun 2001 yakni penyelenggara hulu migas tujuan utamanya itu meningkatkan pendapatan negara
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdapat tiga alasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) harus segera direvisi oleh pemerintah dan DPR.
Praktisi hukum migas Ali Nasir mengatakan, alasan atau pertimbangan yang pertama yaitu amanat konstitusi, di mana pada 2012 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan BP Migas dibubarkan.
"Dan ini harus dilaksanakan," ucap Ali saat webinar, Jumat (4/6/2021).
Alasan kedua, kata Ali, adanya kebutuhan investasi yang besar, karena pemerintah telah mencanangkan target produksi minyak 1 juta barel per hari, dan 12 miiar standar kaki kubik per hari.
"Berapa dana yang dibutuhkan untuk itu, menurut SKK Migas sekitar 250 miliar dolar AS dalam waktu 10 tahun. Kalau dirupiahkan hampir Rp 3 ribu triliun," paparnya.
Baca juga: Genjot Lifting Migas, Sektor Hulu Migas Menanti Pemberian Insentif Fiskal
"Kalau dibagi rata, 10 tahun berarti satu tahun ada 25 miliar dolar AS," sambung Ari.
Sedangkan alasan ketiga atau terakhir, Ari menyebut adanya pergeseran paradigma energi.
"Kalau dilihat di Undang-Undang Migas Nomor 22 tahun 2001, penyelenggara hulu migas tujuan utamanya itu meningkatkan pendapatan negara," ujarnya.
Namun, dalam UU Energi Tahun 2007 atau 6 tahun setelah UU Migas diundangkan, paradigmanya sudah bergeser yaitu pembangunan nasional dari sebelumnya pendapatan negara.
"Ini perlu diselaraskan. Kalau tidak paradigma dalam UU Migas tidak diubah, maka SKK Migas, Kementerian ESDM akan terbelenggu, mereka tidak leluasa, tidak fleksibel," tutur Ari.