Investasi Uang Kripto Mulai Dilirik, Pengamat Soroti Pengawasan dari Regulator
Presiden Direktur Center of Banking Crisis (CBC), A Deni Daruri mempertanyakan pengawasan dari regulator.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tren investasi uang kripto berkembang pesat di tanah air. Porsinya mengalahkan transaksi di pasar saham dan pasar keuangan lainnya. Namun yang patut jadi perhatian, regulatornya seakan jalan sendiri-sendiri.
Presiden Direktur Center of Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri mempertanyakan pengawasan dari regulator.
Ia menyoroti regulator pasar keuangan di Tanah Air yang terkesan jalan sendiri terkait pesatnya perdagangan uang kripto alias crypto currency.
Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag), kata dia, transaksi aset kripto sepanjang Januari-April 2021 tembus Rp237 triliun. Mengalami lompatan 400% dibanding tahun sebelumnya.
Sementara, perkembangan di tetangga sebelah yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksi harian IHSG di periode yang sama berada di kisaran yang jauh lebih rendah, yakni Rp9 triliun hingga Rp 20 triliun.
Ironisnya, kata Deni, koordinasi dan kerja sama antara regulator keuangan di Indonesia, dalam mengawasi melonjaknya investasi aset kripto, terkesan kendor.
Padahal, pengawasannya sangatlah penting. Terutama dalam aspek knowledge sharing industri yang dibawahi dan sentralisasi kebijakan yang konsisten.
"Selain untuk meningkatan perilindungan konsumen dan pemahaman fundamental terhadap produk investasi, para regulator juga memiliki peran besar dalam membuat kebijakan yang dapat bersifat pengawasan dan pencegaha. Tetapi juga masih menyisakkan cukup ruang untuk terus mengembangkan inovasi teknologi di dalam industri aset kripto," papar Deni dalam keteranganya tertulisnya. Minggu.
"Karena hal ini dapat berkontribusi positif terhadap daya saing industri keuangan Indonesia dan menciptakan iklim investasi yang kondusif, terutama dalam menghadapi persaingan global di era ekonomi digital," ungkapnya.
Di mata Deni, lembaga pengawas sektor keuangan yakni Otoritas Jasa Keungan (OJK), Bappebti dan Bank Indonesia (BI), terkesan kuat jalan sendiri-sendiri.
Ketiganya bahkan memiliki pandangan yang bersebrangan yang mengedepankan kepentingan masing-masing institusi.
"Misalnya OJK terus memberikan peringatan mengenai bahaya investasi aset kripto dikarenakan nilai yang fluktuatif, tidak memiliki underlying asset dan tidak dalam pengawasan OJK. Banyak kalangan tidak setuju karena aset kripto memiliki analisa fundamental investasi yang berbeda dengan saham," tegasnya.
Ditambah lagi, lanjut Deni, penggunaan teknologi blockchain yang terdisentralisasi, memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Dan, otoritas penuh berada di tangan komunitas dan pemilik aset kripto, yang memang ditujukan untuk mengihilangkan middleman pengawasan yang sering memiliki trust issue.
Berbeda dengan OJK, lanjutnya, Bappebti menyatakan akan segera meluncurkan bursa kripto Digital Future Exchange bersama dengan perusahaan exchange yang dibawahinya.
Tidak menutup kemungkingan pendirian bursa merupakan dorongan tekanan dari para anggota exchange. Dan tanpa koordinasi dengan lembaga pengawasan keungan lain.