Banyaknya Tipe Pesawat hingga Masalah dengan Lessor, Ini Penyebab Utama Garuda Indonesia Sakit
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kini sedang mengalami kondisi krisis.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maskapai penerbangan Garuda Indonesia kini sedang mengalami kondisi krisis.
Perusahaan berkode saham GIAA tersebut diketahui memiliki utang sekitar Rp 70 triliun, dan akan terus membengkak seiring berjalannya waktu.
Diperkirakan setiap bulannya utang Garuda Indonesia bertambah sekitar Rp 1 triliun.
Baca juga: Bukan Cuma Garuda Indonesia, Maskapai Emirates Juga Boncos Gara-gara Pandemi Covid-19
Lalu, apa saja permasalahan yang dialami Garuda Indonesia sehingga memiliki utang sebanyak itu?
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, masalah yang utama adalah terkait penyewaan pesawat atau lessor.
Irfan menjelaskan, harga sewa yang diterima Garuda Indonesia saat ini sangatlah besar, dan membuat neraca keuangan perseroan menjadi tidak karuan.
Baca juga: Prioritaskan Penyelamatan Garuda, NasDem Minta Segera Dilakukan Audit Forensik
"Saya tidak menutupi dan saya tidak ingin mengatakan sakit. Tapi banyak yang perlu diperbaiki," ucap Irfan dikutip dalam bincang-bincang di Metro TV, Rabu (16/6/2021).
"Pertama adalah lessor terkait perjanjian kontrak pesawat. Kita ini harganya di atas rata-rata industri, tapi juga terms conditions di dalam kontrak ini tidak menguntungkan kita. Jadi sudah dibilang 100 persen berpihak kepada lessor," sambungnya
Kemudian permasalahan yang selanjutnya ialah, banyaknya tipe pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia dan model bisnis yang harus dievaluasi.
Menurut Irfan, dengan banyaknya jenis pesawat, akan memperbesar biaya maintenance/perbaikan berkala, serta harus menambah armada pilot untuk menerbangkan pesawat-pesawat tersebut.
Terkait model bisnis, Bos Garuda Indonesia mengakui terdapat rute-rute yang harus dievaluasi. Karena rute tersebut sangat sepi, sehingga okupansi (tingkat keterisian penumpang) sangat minim.
Apabila okupansi rendah, tentunya akan berdampak terhadap kerugian biaya operasional Garuda Indonesia.
"Tipe pesawat jangan banyak-banyak lah. Karena berdampak pada soal maintenance," ucap Irfan.
"Sebenarnya yang jadi pertanyaan adalah kenapa Garuda punya banyak tipe pesawat?," pungkasnya.
Diketahui, beberapa pesawat Garuda Indonesia yang digunakan untuk operasional penerbangannya ialah Boeing 737-777, A320, A330, ATR, hingga Bombardier.
Banyaknya tipe pesawat membuat GIAA sulit untuk melakukan efisiensi.
Garuda Indonesia Tunggak Gaji Karyawan Rp 328 Miliar, Pesawat yang Dioperasikan Tinggal 53 Unit
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tercatat menunggak pembayaran gaji karyawannya sebesar US$23 juta atau sebesar Rp328,3 miliar (kurs Rp14.316/US$) sampai 31 Desember 2020 lalu.
Tunggakan itu terjadi akibat penundaan pembayaran gaji yang dilakukan manajemen dalam rangka efisiensi.
”Sebagai respons terhadap tekanan kinerja imbas situasi pandemi, terhitung dari April hingga November 2020, perseroan telah melakukan penundaan pembayaran penghasilan pada 2020," tulis manajemen Garuda dalam keterbukaan informasi seperti dikutip, Kamis (10/6/2021).
Baca juga: Pesawat Garuda yang Siap Terbang Kini Menyusut Jadi 53 Pesawat, Begini Penjelasan Manajemen
Tunggakan gaji tersebut terjadi mulai dari level direksi dan komisaris hingga staf. Manajemen Garuda merinci untuk direksi dan komisaris, penundaan pembayaran gaji dilakukan sebesar 50 persen setiap bulannya.
Kemudian untuk vice president, captain, first office, dan flight service manager sebesar 30 persen. Untuk level senior manager, penundaan pembayaran gaji diberlakukan sebesar 25 persen. Sementara untuk flight attendant, expert dan manager sebesar 20 persen.
Baca juga: Garuda Indonesia Tunda Pembayaran Gaji Karyawan Hingga Direksi, Ini Besarannya
Terakhir untuk penundaan gaji duty manager dan supervisor sebesar 15 persen. Sedangkan staff (analyst, officer atau setara) dan siswa, penundaan pembayaran gaji yang dilakukan sebesar 10 persen.
”Estimasi dari jumlah tunjangan gaji yang saat ini ditunda atau belum dibayarkan per 31 Desember adalah sebesar US$23 Juta," jelas manajemen.
Selain menunda pembayaran gaji, langkah lain yang dilakukan perseroan dalam rangka efisiensi keuangan antara lain penyelesaian kontrak dipercepat untuk pegawai dengan status kontrak/PKWT.
Kemudian perseroan juga melakukan program pensiun dipercepat kepada karyawan dengan kriteria pendaftar 45 tahun ke atas yang dilaksanakan pada 2020.
Perusahaan juga melakukan penyesuaian mekanisme kerja untuk pegawai work from home dan work from office.
"Kesepakatan restrukturisasi kewajiban usaha antara perseroan dengan beberapa BUMN dan juga lessor tentunya turut berkontribusi dalam menjaga keberlangsungan operasional perseroan dapat terjaga," kata manajemen.
Selain menunda pembayaran gaji, manajemen Garuda juga telah memangkas jumlah armada pesawat yang dioperasikan.
Hal itu disesuaikan dengan kondisi pasar dan permintaan layanan penerbangan, khususnya berkaitan dengan diberlakukannya beberapa kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat, antara lain melalui penyesuaian/pengurangan frekuensi penerbangan hingga optimalisasi penggunaan armada untuk rute padat penumpang.
Operasional Pesawat
Saat ini total jumlah pesawat Garuda mencapai 142, terdiri dari 136 pesawat sewa dan 6 pesawat milik sendiri.
Dari total 142 pesawat itu, yang dioperasikan hanya 53 unit atau 37,3 persen.
Sementara 39 pesawat sedang perawatan (maintenance), dan sisanya di-grounded.
"Armada yang dioperasikan selama masa pandemi berkurang sehingga yang saat ini dioperasikan untuk mendukung operasional perusahaan ada pada kisaran 53 pesawat," sebut manajemen emiten berkode GIAA itu.
Terkait sejumlah pesawat yang statusnya direlokasi atau grounded, pihak Garuda tengah bernegosiasi dengan pihak lessor atau penyewa pesawat, dengan harapan pesawat yang disewa oleh Garuda Indonesia bisa dioperasionalkan kembali.
"Perseroan saat ini terus melakukan upaya negosiasi dengan lessor untuk pesawat dengan status grounded, di mana pendekatan yang ditempuh adalah kembali dapat mengoperasikan atau melakukan early termination atau pengembalian pesawat. Tentunya hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan armada sesuai demand layanan penerbangan pada era kenormalan baru ini," jelas manajemen.
Sebagai informasi, Garuda Indonesia telah mengembalikan sejumlah armada ke perusahaan penyewa pesawat. Baru-baru ini ada dua pesawat B737-800 NG yang dikembalikan.
Hal itu tak lepas dari persoalan krisis keuangan yang dialami maskapai pelat merah itu.
Pengembalian itu pun membuat kode panggilan atau call sign pada pesawat tersebut berubah dari dari PK untuk Indonesia menjadi VQ untuk Bermuda.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan, percepatan pengembalian pesawat dilakukan setelah adanya kesepakatan bersama antara Garuda Indonesia dan pihak lessor pesawat. Salah satu syaratnya adalah dengan melakukan perubahan kode registrasi pada pesawat terkait.(tribun network/ism/dod)