Permintaan Nikel Diproyeksikan Melonjak Tajam Melebihi Kemampuan Pasok
Direktur Utama PT PAM Mineral Tbk (NICL) Ruddy Tjanaka memperkirakan pada 2022, permintaan nikel akan melebihi kemampuan pasok.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peluang bisnis nikel ke depan di 2022 dinilai cukup menjanjikan karena tingginya permintaan bijih nikel di pasar domestik.
Hal ini juga didukung oleh pemerintah yang akan mengembangkan industri dan ekosistem kendaraan listrik melalui holding BUMN baterai Indonesia, hasil kerja sama dengan produsen mobil listrik yaitu LG Chem dan CATL.
Direktur Utama PT PAM Mineral Tbk (NICL) Ruddy Tjanaka memperkirakan pada 2022, permintaan nikel akan melebihi kemampuan pasok.
"Potensi besar untuk bertumbuh. Mengingat, saat ini baru sebagian kecil dari area yang sudah dieksploitasi," ujarnya, Kamis (15/7/2021).
Baca juga: Tiran Group Teken Kontrak Pembangunan Smelter Nikel Senilai Rp 1,8 Triliun
Seperti diketahui, pabrik baterai mobil listrik milik PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium LG serta CATL untuk mobil listrik akan mulai melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking akhir Juli 2021.
Baca juga: STAL Siap Jadi Terobosan Teknologi Pengolahan Nikel yang Ramah Lingkungan
Selanjutnya, pabrik baterai tersebut diharapkan akan mulai beroperasi pada 2023, di mana nikel dengan kadar rendah banyak dibutuhkan untuk kebutuhan campuran dengan jenis logam cobalt sebagai bahan baku untuk baterai.
Baca juga: Kementerian BUMN Dirikan Holding Battery Corporation untuk Kelola Nikel
Lebih lanjut, Ruddy menjelaskan, jumlah pasokan nikel terbatas saat ini dengan permintaan bijih nikel semakin meningkat, terutama dari industri kendaraan listrik.
Sementara, market share untuk kendaran listrik diproyeksikan meningkat dari 2,5 persen pada 2019 menjadi 10 persen pada 2025.
Market share untuk industri kendaraan listrik diprediksikan akan kembali meningkat menjadi 28 persen di 2030 dan 58 persen di 2040.
Dia menambahkan, pada 2019, total konsumsi nikel untuk bahan baku baterai baru mencapai 7 persen dari total keseluruhan global.
Dari data itu, pihaknya melihat peluang menjanjikan pada pertambangan nikel berkadar rendah, sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan baterai untuk bahan bakar kendaraan listrik.
Di sisi lain, permintaan bijih nikel berkadar tinggi juga terus mengalami peningkatan, terutama karena adanya industri pengolahan atau smelter yang ada.
"Adanya industri baterai nasional seiring tumbuhnya smelter dengan teknologi hydrometalurgi akan meningkatkan kinerja dengan diserapnya nikel kadar rendah perusahaan. Ini yang kita harapkan bersama," pungkas Ruddy.