Indonesia Bisa Kembali Naik Kelas Jadi Negara Menengah, Syaratnya Ekonomi Tumbuh 7 Persen
Indonesia mendapatkan berkah dari adanya perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) diikuti sekutunya.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan, Indonesia bisa naik kelas lagi menjadi negara berpendapatan menengah atas dengan syarat ekonomi tumbuh minimal 7 persen.
"Ekonomi kita harus tumbuh di atas 7 persen, mampu tidak? Instrumen kita mampu tidak? Momentum transformasi benar terjadi?" ujarnya saat menjadi pembicara pada diskusi virtual Indonesia Turun Kelas Versi Bank Dunia dengan redaksi Tribunnews, Rabu (21/7/2021).
Masalahnya, dari sisi pemerintah saat ini setelah pandemi usai adalah mengalami situasi booming harga komoditas, termasuk minyak di dalamnya.
Di sisi lain, Indonesia mendapatkan berkah dari adanya perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) diikuti sekutunya.
China tidak mau membeli barang komoditas dari sekutu AS yakni Australia, sehingga membuat harga batu bara Indonesia naik.
Selain batu bara, Misbakhun menjelaskan, Negeri Tirai Bambu juga membeli komoditas sawit dan karet dari Indonesia.
Baca juga: Indonesia Bisa Tiru Korea dan Eropa untuk Jadi Negara Maju, Kembangkan Sektor Manufaktur Dulu
"Masalahnya adalah jangan sampai kesalahan periode booming komoditas era 1980-an kembali terulang sekarang dengan melupakan pengembangan industri manufaktur," katanya.
Jika tidak mampu untuk merespons secara bijak kenaikan harga komoditas, maka diyakini Indonesia dapat terjebak situasi middle income trap atau jebakan negara berpendapatan menengah.
Baca juga: Luhut Minta Pengamat Tak Sembarang Kritik Soal Pemulihan Ekonomi: Tak Usah Cari Popularitas Publik
Misbakhun mencontohkan, negara yang berhasil keluar dari middle income trap adalah Jepang pasca perang dunia II dengan mendorong industrialisasi.
Selain itu, ada Korea Selatan yang setelah perang tahun 1950, berikutnya di 1955 sudah keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Namun, yang perlu pemerintah pelajari lebih mendalam adalah China dengan 1 miliar penduduk atau lebih banyak dari Indonesia juga dapat keluar dari jebakan middle income trap.
"Mereka (China) genjot dulu melalui ekspansi belanja negara. Nah permasalahannya bagaimana memberikan reaksi penurunan peringkat (Bank Dunia) ini, sehingga Indonesia tidak menjadi terjebak situasi middle income trap," ujarnya.
Baru-baru ini Bank Dunia menurunkan peringkat Indonesia, turun kelas ke negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle-income country) setelah pada tahun lalu masuk ke dalam kategori negara upper middle-income.
Penyebabnya, Indonesia mengalami penurunan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita pada tahun 2020 tercatat US$ 3.870 atau turun dari 2019 yang sebesar US$ 4.050.
Menurut Bank Dunia, ambang batas minimal untuk sebuah negara bisa masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas di tahun ini naik menjadi US$ 4.096.
Indonesia masih jauh untuk menjadi negara maju. Sebab, syaratnya adalah pendapatan per kapita minimal US$ 12.535. Indonesia perlu meniru negara Asia lainnya, yang berhasil ke luar dari jebakan negara berpendapatan menengah ke bawah.
Misalnya, Korea Selatan atau Jepang. Problema Indonesia untuk menjadi negara maju, yakni adalah melewati fase industrialisasi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berujar, alasan Indonesia turun kelas bukan karena faktor pandemi saja. Tapi juga lantaran struktur ekonomi Indonesia sudah rapuh sejak sebelum pandemk.
"Kita lihat negara lain. Korea keluar dari negara miskin, jadi negara maju," ujar Bhima.
Bhima menerangkan, bukan meningkat, industri manufaktur Indonesia kini turun di bawah 20 persen. Kini, anak-anak muda Indonesia ketergantungan dengan sektor jasa digital dan lainnya.
"Padahal kita belum punya perusahaan besar seperti LG, Samsung sudah euforia beralih ke digitalisasi," ujarnya.
Jika Indonesia dicap sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah, praktis membuat pertumbuhan perekonomian mengalami pelemahan. Berpengaruh juga terhadap serapan tenaga kerja atau berkurangnya lapangan pekerjaan.
"Penurunan kelas ini dicermati karena mengancam pertumbuhan jangka panjang. Di 2045 jadi negara maju bisa tertunda lagi bisa 2050, 2060 atau masuk jebakan negara kelas menengah. Selamanya tidak masuk ke kategori negara maju," ujar Bhima. (tribun network/denis destryawan)