DPR Minta Industri Rokok Dilindungi Meski Ekonomi Tertekan Covid-19
Herman Khaeron beralasan, IHT mempekerjakan masyarakat kecil, terutama ibu-ibu di daerah yang ekonomi keluarganya tertekan pandemi Covid-19.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk tetap memberikan perlindungan kepada industri hasil tembakau (IHT) yang merupakan sektor padat karya dan tersebar di berbagai daerah.
Anggota Komisi VI Herman Khaeron beralasan, IHT mempekerjakan masyarakat kecil, terutama ibu-ibu di daerah yang ekonomi keluarganya tertekan oleh pandemi Covid-19.
“Sektor padat karya harus lebih diperhatikan, termasuk pekerja SKT,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (12/8/2021).
Karena itu, Herman meminta pemerintah mempertimbangkan baik-baik kebijakan cukai rokok, sekaligus memberikan insentif.
Menurut dia, perlindungan segmen padat karya diperlukan untuk mencegah jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kemiskinan akibat tekanan pandemi belum mereda.
Baca juga: Gappri Surati Jokowi Minta Tidak Naikan Cukai Tahun Depan, Industri Tembakau Sudah Babak Belur
Selain itu, keberlangsungan IHT bisa diperhatikan agar tetap bertahan, sehingga mampu mendukung pemulihan ekonomi lokal maupun nasional.
Herman juga berharap agar seluruh pihak dapat saling mendukung dan bertahan bersama untuk bangkit dan pulih dari keterpurukan akibat pandemi.
Baca juga: Bea Cukai Gresik Amankan 560 Ribu Batang Rokok Ilegal Dalam Dua Penindakan
“Satu di antara bentuk perhatian pemerintah adalah dengan menunda kenaikan cukai tahun 2022 sampai kondisi pandemi terkendali dan ekonomi pulih,” pungkasnya.
Sekadar informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2021 mencapai 7,07 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Kemudian, data BPS mencatat terdapat 19,10 juta orang atau 9,30 persen penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Rinciannya akibat dampak pandemi Covid-19 adalah jadi pengangguran sebanyak 1,62 juta orang, bukan angkatan kerja 650 ribu orang, tidak bekerja 1,11 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja 15,72 juta orang.