Ekonom Indef: Dana Perlindungan Sosial Rp 427,5 Triliun Rawan Dikorupsi
Drajad Wibowo menegaskan dana perlindungan sosial sebesar Rp 427,5 triliun perlu menjadi perhatian serius Presiden, DPR, BPK, dan KPK.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Drajad Wibowo menegaskan dana perlindungan sosial sebesar Rp 427,5 triliun perlu menjadi perhatian serius Presiden, DPR, BPK, dan KPK.
Menurutnya, dana bansos untuk tahun 2022 ini rawan korupsi dan bermasalah terkait efektivitasnya.
"Hingga saat ini saya cek teman-teman di fraksi belum ada evaluasi yang kredibel dan akurat mengenai ketepatan penerima," tutur Drajad dalam diskusi publik virtual, dikutip Rabu (18/8/2021).
Baca juga: Anggaran Perlindungan Sosial Mau Diturunkan, Pengamat: Masih Belum Tepat Waktu
Di sisi lain juga ada masalah serius dengan data penerima dana perlindungan sosial.
Drajad mengaku sempat mendengar kabar keluarga dari pejabat lokal ikut menerima dana bansos untuk anggaran tahun lalu.
"Ini masalah serius, karena jangan sampai pemerintah menggelontorkan uang ratusan triliun tetapi tidak tepat sasaran," tutur Drajad.
Baca juga: Bea Cukai Terus Gencarkan Sosialisasi Rokok Ilegal
Persoalan selanjutnya ketepatan manfaat bahwa di banyak kasus manfaat dana bansos kerap diambil pihak lain seperti pihak pendamping.
Drajad menyoroti anggaran dana perlindungan sosial tahun 2022 turun sekitar Rp 60,3 triliun dibanding tahun sebelumnya.
Dana perlindungan sosial murni untuk penanganan pandemi tercatat hanya Rp 190 triliun sisanya 62 persen anggaran selalu disiapkan setiap tahunnya untuk program bantuan pemerintah.
"Saya terus terang kaget dengan wacana (pengurangan anggaran, red) ini. Bagi saya belum tepat waktu, karena kita belum ada data yang kredibel bahwa herd immunity akan tercapai tahun depan," urainya.
Cakupan vaksinasi penuh di Indonesia per hari baru mencapai 10,48 persen, masih jauh di bawah rata-rata dunia 23,6 persen.
Drajad menambahkan obat preventif dan kuratif di Indonesia juga masih memerlukan proses panjang.
Selain itu survey antibodi nasional mutlak diperlukan jika ingin melonggarkan pergerakan orang dan ekonomi.
"Tanpa survey antibodi risiko penularan tinggi kembali terjadi. Kita hanya akan berputar-putar. Saya juga sudah bicarakan ini dengan pembantu presiden, beliau setuju tapi saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya," imbuhnya.