Ekonom: Postur RAPBN 2022 Bertolak Belakang dari Upaya Antisipatif Pandemi
Postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 tidak mencerminkan upaya antisipatif pandemi Covid-19.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 tidak mencerminkan upaya antisipatif pandemi Covid-19.
Hal itu diutarakan Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dalam webinar publik, Jumat (20/8/2021).
Baca juga: Pimpinan DPR: Tantangan di Era Pandemi Semakin Sulit, Pendidikan Virtual Belum Efektif
"Melihat anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor kesehatan Rp148,1 triliun dan perlindungan sosial Rp 153,7 triliun diturunkan dari anggaran tahun 2021. Anggaran kesehatan mengalami penurunan Rp65,9 triliun sedangkan perlindungan sosial turun Rp 33,3 triliun," tutur Faisal.
"Logikanya bagaimana cara pemerintah mengantisipasi kalau terjadi kembali gejolak Covid-19 di tahun 2022. Termasuk untuk penanganan testing, tracing, dan treatment. Belum lagi vaksin karena itu keharusan," tambahnya.
Baca juga: Politisi PKS Sebut Pidato Presiden soal APBN Isyaratkan Ketidakpastian Ekonomi
Faisal menilai pemerintah masih berambisi mendorong sektor infrastruktur pada APBN 2022.
Pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur sebesar Rp 384,8 triliun untuk penguatan penyediaan layanan dasar, mendukung peningkatan produktivitas melalui infrastruktur konektivitas dan mobilitas.
Di sisi lain, ekonom lulusan Institut Teknologi Bandung mempertanyakan bagaimana cara pemerintah meningkatkan target pendapatan negara menjadi Rp 1.840,7 triliun tahun depan.
Baca juga: Pemerintah Diminta Waspadai Ketahanan APBN Terkait PLTS Atap di Pembahasan RUU EBT
Sedangkan outlook pendapatan negara tahun 2021 masih meleset dari target Rp1743,6 triliun.
Ia berpandangan sumber-sumber pendapatan negara belum pulih karena pembatasan sektor industri dan aktivitas masyarakat.
"Tentu caranya dengan menggenjot perpajakan dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Ini yang kemudian membuat dunia usaha khawatir pajak mana lagi yang akan tingkatkan. Dan jangan sampai berimbas kepada masyarakat menengah ke bawah," tuturnya.
Kondisi ketidakpastian ini menjadi tantangan pemerintah setelah menetapkan defisit anggaran 4,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Ini mungkin menjadi tahun terakhir defisit di atas tiga persen tanpa persetujuan DPR untuk mencapai konsolidasi fiskal, mengingat 2023 defisit anggaran kembali ke level tertinggi tiga persen dari PDB," urai Faisal.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menuturkan defisit anggaran yang dipatok pemerintah memiliki potensi melebar.
Hal itu bisa terjadi apabila pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5 persen dan endemic berkepanjangan serta vaksinasi baru selesai akhir tahun 2022.
"Kalau realnya begitu akhirnya defisit anggaran dapat bertambah menjadi 5,82 persen. Karena Presiden dalam pidato nota keuangan menyampaikan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen menjadi acuan utama. Ini yang membuat potensi defisit melebar," tutur Tauhid.