Atur Ulang, Impor Barang Pekerjaan Konstruksi hingga LNG Tidak Kena Pajak
pemerintah mengatur kembali subjek dan objek penerima fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor strategis
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan, pemerintah mengatur kembali subjek dan objek penerima fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak (BKP) tertentu bersifat strategis.
Ketentuan ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai.
Baca juga: Diduga Terima Gratifikasi Rp27,6 Miliar, Eks Kepala ESDM Tanah Bumbu Ditetapkan Tersangka
Pengaturan kembali subjek dan objek penerima fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN yang pertama adalah menambahkan subjek penerima fasilitas yaitu kontraktor Engineering, Procurement and Construction (EPC) yang melakukan pekerjaan konstruksi terintegrasi.
"Kontraktor EPC mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan peralatan pabrik yang merupakan satu kesatuan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas. Tidak termasuk suku cadang yang digunakan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam proses menghasilkan BKP," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor dalam siaran pers, Kamis (2/9/2021).
Baca juga: Target 100 Juta Dosis Vaksin Tercapai tapi Pemerintah Diminta Perhatikan Hal Ini
Kedua, yakni menambahkan liquefied natural gas (LNG) sebagai objek yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN.
Ketiga, memperluas definisi mesin dan peralatan pabrik termasuk unit pembangkit listrik yang merupakan bagian terintegrasi dari industri pengolahan yang memiliki izin usaha penyediaan listrik.
Keempat, menambahkan ketentuan bahwa biaya penyambungan listrik dan biaya beban listrik termasuk dalam pengertian listrik yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
“Selain mengatur kembali subjek dan objek yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketentuan baru ini juga mengatur tata cara pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN serta pembayaran PPN BKP strategis tertentu. Hal ini ditujukan untuk memberikan kemudahan dalam berusaha dan memberikan kepastian hukum,” kata Neilmaldrin.
Rincian pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam ketentuan ini, pertama adalah tata cara pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan peralatan pabrik menggunakan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN.
PKP mengajukan SKB PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW).
Kedua, perubahan mekanisme penerbitan SKB PPN yang semula manual menjadi otomasi, simplifikasi, dan terintegrasi dengan sistem informasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), serta Lembaga National Single Window.
Ketiga, tata cara pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas penyerahan rumah susun sederhana milik dengan mengintegrasikannya melalui sistem aplikasi pengembang pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Keempat, tata cara pembayaran PPN BKP tertentu bersifat strategis yang telah dibebaskan dari pengenaan PPN yang digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan.
"Ketentuan lebih lanjut terkait tata cara pemberian fasilitas dibebaskan PPN atas barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.03/2021 yang berlaku sejak 1 September 2021," pungkas Neilmaldrin.