Ada Gelagat Pemerintah Akan Revisi Aturan Tembakau, Pakar Pertanyakan Urgensinya
IHT di Indonesia tidak bisa dilihat dari kesehatan semata, tetapi juga perindustrian, perdagangan, tenaga kerja dan banyak lagi.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau dinilai bakal menambah kesulitan masyarakat.
Pakar hukum internasional Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah tak perlu meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Pasalnya Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia tak hanya bisa dilihat dari sisi kesehatan, tapi juga perlu menilik sektor perindustrian, perdagangan, pertanian hingga tenaga kerja.
Hal ini disampaikan Hikmahanto dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk 'Bedah Proses Legislasi Industri Hasil Tembakau', Kamis (9/9/2021).
"IHT di Indonesia tidak bisa dilihat dari kesehatan semata, tetapi juga perindustrian, perdagangan, tenaga kerja, bidang UMKM, pertanian, dan masih banyak lagi," kata Hikmahanto.
Baca juga: APTI Minta Pemerintah Tak Naikkan Tarif Cukai Tembakau
Menurutnya, pemerintah perlu menimbang besarnya cukai yang disumbang dari hasil tembakau, serta kontribusinya pada perekonomian nasional termasuk lapangan pekerjaan yang diciptakan.
Baca juga: YLKI Keberatan Pemberlakuan SNI untuk Produk Tembakau
"Kita nggak mau jadi konsumen, pangsa pasar tembakau, tetapi kita hanya jadi konsumen, padahal banyak yang menyandarkan pada industri hasil tembakau," terang Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini.
Baca juga: Waspada BKC Ilegal, Bea Cukai dan Pemda Maksimalkan DBHCHT
Pada sisi lain, pemerintah lewat PP 109/2012 disebut sudah memperhatikan kesehatan dalam IHT, serta memastikan tidak adanya perokok di bawah umur.
Ia menyebut aturan itu sudah secara baik mengatur secara seimbang antara kesehatan, IHT, perekonomian nasional, dan terbukanya lapangan kerja.
"Banyak negara yang ingin mengambil pangsa pasar Indonesia, sampai hari ini Amerika Serikat bukan peserta ratifikasi FCTC, tetapi kok Indonesia dipaksa-paksa ikut," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, pakar kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan revisi PP 109/2012 semestinya lebih dulu dikonsultasikan ke publik.
"Menurut saya yang harus dilakukan paling utama sesuai dengan UU Nomor 12 harus dikonsultasikan kepada publik. Jadi PP 109/2021 kalau mau diubah, perlu dikonsultasikan kepada publik dulu," tutur Trubus.
Menurut Trubus, rokok merupakan produk legal. Apalagi pemerintah mengambil cukai yang cukup besar dari penjualan rokok. Sehingga larangan merokok dianggap bukan lagi sebagai urgensi.
"Publik juga punya kedaulatan, prinsip, legal standing yang tidak bisa dipaksakan dengan cara-cara intervensi dari luar," ungkapnya.