Menperin: Pertumbuhan Konsumsi Garam Naik 7 Persen Per Tahun, Impor Masih Tinggi
Pengguna garam terbesar dari sektor industri adalah petrokimia, kerta, aneka pangan, farmasi dan kosmetik, dan pertambangan minyak.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, garam merupakan komoditas strategis yang penggunaan sangat luas. Pertumbuhan penggunaannya juga cukup tinggi.
“Rata-rata lima hingga tujuh persen per tahun,” ujar Agus dalam webinar “Industrialisasi Garam Nasional Berbasis Teknologi” yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik (FDEP) bersama SBE-UISC, Jumat (24/9/2021).
Pengguna garam terbesar dari sektor industri adalah petrokimia, kerta, aneka pangan, farmasi dan kosmetik, dan pertambangan minyak.
Industri CAP membutuhkan hingga 2,4 juta ton per tahun. Pada 2021, total kebutuhan nasional mencapai 4,6 juta ton. Sementara, data BPS menunjukkan produksi garam nasional tidak sampai 1,5 juta ton.
Baca juga: Kadin Gandeng Kabupaten Pesawaran Tingkatkan Potensi Garam Industri dan Pariwisata Pulau Legundi
Indonesia masih harus mengimpor garam dengan nilai hingga 97 juta dollar AS pada 2020. Dengan bahan baku itu, industri pengguna garam mengekspor dengan nilai 47,9 miliar dollar AS. Industri pengguna garam salah satu sektor yang tetap tumbuh di tengah pandemi.
Baca juga: Kualitas Garam Malaka Memenuhi Syarat Jadi Garam Industri
“Hal ini menunjukkan betapa pentingnya industri pengguna garam,” ucap Agus Gumiwang.
Kementerian Perindustrian telah berusaha mendorong peningkatan penggunaan garam nasional. Pada 2021, Kementerian Perindustrian berharap industri nasional bisa menyerap hingga 1,5 juta ton garam nasional.
Garam industri paling tidak harus punya kadar kemurnian 97 persen. Di sektor farmasi dan kosmetik, kadar kemurnian malah paling rendah 99 persen. Sementara kadar garam dalam negeri masih di bawah 90 persen.
“Banyak masalah kalau menggunakan garam tidak sesuai standar,” kata Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Hermawan Prajudi.
Garam dengan kandungan air tinggi bisa mempercepat kerusakan produk. Kandungan benda asing di garam bisa menjadi salah satu penyebab mesin pengolah rusak hingga ditolak oleh pasar. Bahkan, keberadaan benda asing dalam produk makanan bisa memicu keluhan konsumen.
Sebagai industri orientasi ekspor, sektor makanan dan minuman juga harus memenuhi standar keamanan pangan di berbagai negara.
Standar itu tidak menoleransi benda-benda asing dalam pangan. Karena itu, industri makanan dan minuman sulit menerima garam dengan kadar kemurnian di bawah standar.
"Anggota GAPMMI tentu sangat ingin menggunakan garam produksi dalam negeri. Masalahnya, pernah ditemukan aneka pengotor dalam garam produksi dalam negeri," katanya.
Bahkan,alat pelacak logam sampai bisa mendeteksi logam dalam garam produksi dalam negeri. Sementara guru besar Universitas Indonesia Misri Gozan tidak menampik bahwa ada peluang garam produksi dalam negeri tidak mencapai standar kemurnian yang dibutuhkan.
"Dibutuhkan intervensi teknologi dalam produksi garam nasional," katanya.
Produksi garam nasional juga punya banyak tantangan. Salah satunya adalah kondisi alam. Kelembaban di Indonesia bisa mencapai 90 persen. Sementara di Australia, kelembaban bisa 30 persen.
Selain itu, tidak semua daerah Indonesia bisa terus menerus dalam kondisi panas selama paling tidak 1,5 bulan berturut-turut. Periode itu waktu paling singkat untuk menguapkan air laut.
Di Indonesia, produksi garam memang masih mengandalkan penguapan air laut. Sementara di beberapa negara lain, garam ditambang dari gunung.